ALIRAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM

A.    Pengertian Murji’ah
Secara Harafiah, Murjiah berasal berasal dari kata rajaa, yakni mengembalikan kepada tuhan, dan arja’a yang berarti menunda.[1]Sedangkan menurut istilah: Sufyan berkata: “ Murji’ah mengatakan, iman adalah pengakuan tanpa dibarengi dengan perbuatan. Barang siapa yang mengucapkan: aku bersaksi,tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah dan aku bersaksi, Muhammad adalah hamba dan utusannya, maka ia Mukmin yang sempurna imannya. Imannya seperti Jibril dan Malaikat. Meski ia melakukan pembunuhan terhadap ini dan itu, ia tetap Mukmin, meskipun ia tidak mandi junub dan meninggalkan shalat. Mereka berpendapat boleh menerangi ahli kiblat.[2]
B.     Sejarah Timbulnya Murji’ah
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah, pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum Khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi, kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syiah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh pula. Kaum Khawarij dan Syiah, sungguhpun merupakan dua golongan yang bermusuhan, sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayah tetapi dengan motif yang berlainan.

Kalau Khawarij menentang dinasti ini, karena memandang mereka menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Syiah menentang, karena memandang mereka merampas kekuasaan dari Ali dan keturunannya.[3]
            Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda atau (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.
            Dengan demikian, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.[4]
Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umayah, berbeda dengan Khulafaur Rasyidin. Tingkah laku penguasa tampak semakin kejam, sementara umat Islam bersikap diam saja. Timbul persoalan: “ Bolehkah umat Islam berdiam saja dan wajibkah taat kepada Khalifah yang dianggapnya zalim? Orang-orang Murjiah berpendapat bahwa seorang Muslim boleh saja shalat dibelakang seorang yang saleh ataupun dibelakang orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah SWT.[5]

C.    Aliran –Aliran Murji’ah
 Aliran Murji’ah terpecah menjadi 12 sekte:
a.       Jahmiyyah
Mereka adalah para pengikut Jaham bin Shafwan, disana ia mengemukakan pendapatnya yang diikuti banyak orang, setelah dia meninggalkan shalat selama 40 hari karena ragu terhadap Rabb-Nya. Hal itu di akibatkan oleh perdebatannya dengan suatu kaum dari kalangan Musyrikin yang biasa disebut Sunniyyah dari kalangan filosofi India.[6].
Mereka mengklaim Al-Qur’an sebagai makhluk dan Allah SWT tidak pernah berbicara dengan Nabi Musa A.S Karena menurut mereka Allah tidak bisa diajak bicara, tidak bisa dilihat, tidak diketahui tempat-Nya, tidak mempunyai Arsy dan kursi maupun bersemayam di Arsy.
Mereka juga mengingkari timbangan-timbangan amal (mizan) siksa kubur, serta surga dan neraka bersifat fana (tidak kekal) dan iman bagi mereka adalah pengetahuan hati tanpa perlu menyatakan lisan mereka juga mengingkari Allah SWT.[7]
b.      Shalihiyyah
Sakte itu disematkan kepada mereka yang mengikuti pendapat Abu Al –Husein Ash-Shalihi. Ia menyatakan Iman adalah pengetahuan dan kufur adalah kebodohan. Orang yang mengatakan tiga oknum Tuhan menurut mereka juga tidaklah kafir,meskipun tidak muncul kecuali dari orang kafir.
c.       Yunussiyyah
Dinisbatkan kepada Yunus Al-Barri. Ia mengklaim bahwa Iman adalah sinergi pengetahuan, ketundukkan, dan cinta kepada Allah. Barangsiapa yang meninggalkan satu unsur tersebut maka ia kafir.
d.      Syamariyyah

Sekte ini dinisbatkan kepada Abu Syamar yang mengklaim bahwa iman adalah sinergi pengetahuan, ketundukan, cinta dan pengakuan bahwa Dia Maha Esa, dan “ tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Asy-syura: 11).
e.       Yunaniyyaha
Sakte ini dinisbatkan kepada Yunan. Mereka berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang adanya Allah SWT. Beserta Rasul-Nya. Menurut mereka, apa yang boleh menurut akalpun boleh dilakukan.
f.       Najjariyah
Dinisbatkan kepada Hasan bin Muhammad bin Abduallah An-Najjar. Mereka berpendapat bahwa iman adalah pengetahuan tentang Allah SWT., Rasul-Rasul-Nya,  kewajiban-kewajibannya yang disepakati, tunduk kepadaNya, dan mengucapakannya dengan lisan. Jika seseorang tidak mengenal satu saja dari unsur-unsur iman diatas dan tidak berusaha untuk mengetahuinya, padahal ada berbagai dalil pendukung yang menguatkannya maka ia telah kafir.
g.      Ghailaniyyah
Sekte ini berafiliasi pada Ghailan. Mereka sepaham dengan sakte Syamariyyah dan menyatakan bahwa pengetahuan mengenai kejadian segala sesuatu sangat penting, sedangkan pengetahuan tentang tauhid harus dinyatakan dengan lisan.
h.      Syubaibiyah
 Mereka adalah pengikut Muhammad bin Syabib. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengakui Allah swt., mengetahui keesaan-Nya, dan menafikan keserupaan dari-Nya. Muhammad juga mengatakan bahwa iblis dulunya beriman, namun ia kemudian menjadi kafir karena kesombongannya.



i.        Ghasaniyyah
Mereka berafaliasi pada Ghussan Al-Kuhfi. Ia berpendapat bahwa iman adalah makrifat (pengetahuan) dan pengakuan terhadap Allah dan rasul-Nya, serta apa-apa yang dibawanya dari sisi-Nya secara total. Keterangan ini merujuk pada penjelasan al-Burhuti dalam Kitab asy-Syariyah.
j.        Mu’adziyyah
Sakte ini diambil dari nama tokohnya, Bisyr Al-Mushi. Ia mengatakan, “ Barang siapa mengabaikan ketaatan kepada Allah swt. Maka ia hanya disebut melakukan tindakan kefasikan, dan tidak bisa disebut “orang fasik”. Orang fasik bukanlah musuh Allah, namun bukan pula wali kekasih-Nya.
k.      Marisiyyah
Sakte ini diambil dari nama tokohnya, Bisyr al-Marisi. Mereka mengklaim bahwa iman adalah membenarkan dilakukan dengan hati dan lisan. Pendapat serupa dipegangan oleh Ibnu ar-Ruwandi. Ia juga berpendapat bahwa sujud kepada matahari bukanlah sebuah kekufuran, melainkan hanya sekadar tanda-tanda kekufuran.
l.        Kiramiyyah
Sekte ini dinisbatkan kepada pengikut Abu Abduallah Muhammad bin Kiram. Mereka berpendapat bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan saja, tanpa melibatkan hati, dan orang-orang munafik pada hakikatnya adalah mukmin. Mereka juga berpendapat bahwa kemampuan mendahului tindakan. Pendapat ini bertentangan dengan Ahlu Sunnah bahwa kemampuan seiring sejalan dengan tindakan dan tidak boleh mendahului tanpa syarat.



D.    Identifikasi Aliran / Paham Kaum Murji’ah (Ekstrim, Moderat)
Pada umumnya Murji’ah terbagi dalam dua golongan besar, golongan Ekstrim dan Golongan Moderat. Golongan Moderat berpendapat bahwa orang-orang yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi, akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Dalam golongan Murji’ah Moderat ini termasuk Al-Hassan ibn Muhammad ibn Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.
Jadi bagi golongan ini orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi Iman sebagai berikut : Iman ialah Pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasulnya, dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian: Iman; Iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal Iman.
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
            Menurut Al Asy’ari sendiri iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan tuhan dan kebenaran tentang rasul-rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan kedalam surga, karena ia tak mungkin akan kekal tinggal didalam neraka.

Pendapat yang di uraikan Al-Asy’ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan golongan Murji’ah moderat. Dan mungkin inilah Ibn Hazm memasukkan Al-Asy’ari kedalam golongan kaum Murji’ah
            Diantara golongan ekstrem yang dimaksud ialah al-jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karenaiman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh halaman.
            Bagi Al-Salihiah, pengikut-pengikut Abu Al-Hasan Al-Sahili, iman adalah mengetahui Tuhan dan kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka sembahyang tidaklah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadat ialah iman kepadanya dalam arti mengetahui tuhan. Lebih lanjut Al Baghdadi menerangkan bahwa pendapat Al Salihiah, sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadat ialahiman. Karena dalam pengertian kaum murji’ah yang disebut hanyalah mengetahui Tuhan.
            Pendapat-pendapat ekstrim diuraikan diatas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang pentingialahiman yang adadidalamhati. Dengandemikianucapan dan perbuatan-perbuatantidakmerusakimanseseorang.
            Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr, dan dosa besar masuk kedalam aliran Ahli Shunnah dan Jamaah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian   yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa

mereka sebenarnyaa dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstim.[8]
E.                 Eksistensi Paham/ AliranMurji’ah di Era Kontemporer
Apabila yang dijadikan sebagai dalam golongan Mu’tazilahialah: “Ushulul-Khamsah”, dan bagi golongan Syi’ah yang berasaskan tentang “Imamah”, maka asas dalam golongan Murji’ah  mengenai Batasan pengertian “Iman”.[9]
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, atau jika ia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari beberapa tokoh Murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini: Hal itu haruslah di tangguhkan (diserahkansaja) kepada Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari pendapat tersebutlah timbul istilah “Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irjaa” yang memilikiarti “menangguhkan”.[10]
Dari pahaminilah dapat timbul suatu istilah “Murji’ah”, yang di ambil dari kata “arjaa”, yang dapat diartikan dengan: “memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”. Dan berdasarkan kalimat diatas menurut mereka bahwa: “perbuatan maksiat itu tidaklah merusakiman, sebagaimana ketaatan tiada pula bermanfaajika disertai kekafiran. Apabila ada sesorang yang meninggal dunia dalam kepercayaan tauhid,maka dosa dan kejahatannya tidak memberikan mudhorot terhadapnya.[11]
Gassaan Al-Kuufi, seorang tokoh Murji’ah beranggapan dalam kitab Milal wan Nihal yang dikutip oleh Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I yang berbunyi sebagai berikut: ”maInadalahmengenal Allah dan Rasul-Nya, sertamengakuiapa-apa yang telahditurunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karenanya, imanitutidakdapatbertambah dan berkurang.”

Pendapat ini bertentangan dengan pendapat para ahli hadits, sebab mereka ini berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran bertambah atau berkurangnya  ketaatan kepada Allah swt.[12] Allah Swt, berfirman:
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Artinya:
“ Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat itu menambah iman mereka.” (QS. Al-Anfal [8]:2)
                                                        

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post