1. PENGERTIAN PENDIDIKAN AKHLAK
Dalam pengertian pendidikan akhlak ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak.
a. Pengertian Pendidikan
Secara
etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey,
seperti yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.[1]
Pendidikan
pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan
potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun
memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu
mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di
sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang
dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia.[2]
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.[3]
Walaupun
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi
pendidikan, namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah
pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا.
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)[4]
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah
adalah proses pengasuhan pada fese permulaan pertumbuhan manusia,
karena anak sejak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa,
tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah)
yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat
untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya.
Menurut Frederic J. Mc. Donald, dalam bukunya Educational Psychology, mengungkapkan bahwa education
in the sense used here, is a process or an activity which is directed
at producting desirable changes in the behaviour of human beings.
Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses
atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di
dalam tingkah laku manusia.[5]
Menurut Nelson B. Henry, education
is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man
that are susceptible to habituation are perfected by good habits.[6]
Artinya, pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana kemampuan
seseorang dapat terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang
baik.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau
usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan
bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai
Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif
yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan
bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju
terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.
Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat.[7] Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Menurut
Rahmat Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua
macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa
Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores
yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi
pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi adalah yang ada
pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh
pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat
pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[8]
Menurut
Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam
dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan
melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi
memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[9]
Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not
only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily,
it comes with the transition from external to internal authority and
consist of conduct regulated from within.[10] Artinya, bahwa tingkah
laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya
sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka
rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di
luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan
(bertindak) yang diatur dalam diri.
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا. [11]
Bahwa
akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (terlebih dahulu).
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan
itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni
bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan
pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.
Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).[12]
Akhlak
adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap
kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak kedermawanan” dan
“akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali,
suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk. Maka
ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi
jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat
dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak
manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan
al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau
kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih
dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji.
Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.
c. Pengertian Pendidikan Akhlak
Setelah
dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dn pengertian
akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah
pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat
yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa
sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap
mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak
pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat
bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia
akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima
setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak
mulia.[13]
Atau
suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk
memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman
nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke
arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan,
dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang
luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat
menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus
direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran,
yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan
pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil)
dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat menjadi
kebiasaan.
2. DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK
a. Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar
pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak
merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan
buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan
tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat
manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai
teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam
Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فىِْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ
يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلا خِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)[14]
Berdasarkan
ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang
baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang
mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 :
وَاِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ. (القلم : 4)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. al-Qalam : 4)[15]
Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia).
Di
dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam
kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka
menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa
:
عن
عبد الله حد ثي أبى سعيدبن منصور قال : حدثنا عيد العزيز ين محمد عن محمد
بن عجلا عن القعقاع بن حكم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله
صا.م : انما بعثت لأ تمم صالح الاخلاق.(رواه احمد) [16]
Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul
Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari
Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
(H.R.Ahmad)
Berdasarkan
hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya
pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan
akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan
menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan,
memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan
akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik,
memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu
perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang
mereka lakukan.
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan
pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah
mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang
lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.
Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Tujuan Umum
Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi :
a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.[17]
Menurut
Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi
(berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat
yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.[18]
2) Tujuan Khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :
a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik
b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar.
d) Membimbing
siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi
sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong,
sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah.
f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.[19]
Adapun
menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari
pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang
yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam
bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan
beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah
pendidikan moral dan akhlak.[20]
Dijelaskan
juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika)
bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan
itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk
hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah
kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar
berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati
oleh kesucian manusia.[21]
3. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah akhlak terhadap makhluknya (semua ciptaan Allah).[22] Dan ruang lingkup pendidikan akhlak, di antaranya adalah :
a. Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak
kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap/perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang
Khaliq.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah :
1) Karena
Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia di air
yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk.
(Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa manusia
diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan
dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi segumpal darah,
daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya
diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu’minun : 12-13)
2) Karena
Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping
anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia.
3) Karena
Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan lain
sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13)
4) Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra’ : 70)[23]
Dalam
berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara, di
antaranya dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT
menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah
kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. 51/Adz-Dzariyat : 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ.
Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)[24]
Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :
1. Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan (kewajiban kepada Allah)
Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :
يا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوْ اللهَ وَاَطِيْعُوْ الرَّسُوْلَ وَاُولىِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ج فَاِنْ تَنزَعْتُمْ فىِ شَئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْ مِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاخِرِ ط ذلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan
ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya.(Q.S. An-Nisaa : 59)[25]
Akhlak
kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya
melaksanakan shalat wajib lima waktu.
2. Akhlak
kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam
melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah sikap merendahkan diri
terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S. 23/Al-Mukminun : 1-7 :
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. اَلَّذِيْنَ فِىْ صَلاَتِهِمْ خشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ الَّلغْوِمُعْرِضُوْنَ.
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكوةِ فعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُجِهِمْ
حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلىاَزْوجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمنُهُمْ فَاِنَّهُمْ
غَيْرُمَلُوْمِيْنَ.
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’
dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun :
1-7)[26]
Untuk
menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal kejadiannya,
menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam,
menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur,
sabar dan sebagainya.
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak
terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap Rasul,
orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.
1) Akhlak terhadap Rasulullah
Akhlak
karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya, mentaati
Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi
larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau
yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman
Allah SWT dalamQ.S. 4/An-Nisaa : 80 :
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَ لىّ فَمَا اَرْسَلْنكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا.
Barangsiapa
yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.an-Nisaa : 80)[27]
2) Akhlak terhadap orang tua (ayah dan ibu)
Wajib
bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan
berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di
antaranya :
a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S. 17/Al-Isra : 23 :
وَقَض رَبُّكَ اَلاَّتَعْبُدُوْا اِلاّ اِيَّاهُ وَبِالْولِدَيْنِ اِحْسنًاط اِمَّايَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَاَحَدُهُمَا اَوْكِلاَهُمَا فَلاَتَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْ هُمَاوَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاًكَرِيْمًا.
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut
dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
kaduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra’ : 23)[28]
b) Membantu orang tua (ayah dan ibu)
3) Akhlak terhadap guru
Akhlakul
karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan
di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.
Penyair Syauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut :
Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.
4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat
Pentingnya
akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk
bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya
akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong,
saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji,
berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur’an Q.S.
5/Al-Maaidah : 2 :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَىالْبِرِّ وَالتَّقْوَىصوَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوانِص وَاتَّقُوا اللهَ ط اِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ.
Dan
tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya.
(Q.S. Al-Maaidah : 2)[30]
c. Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang
dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di
sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda
tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Binatang,
tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT.,
dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya.
Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya
adalah “umat” Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik,
seperti firman Allah SWT dalam Q.S. 6/Al-An’aam : 38 :
وَمَامِنْ دَآ بَّةٍ فىِ اْلاَرْضِ ولاَ طَئِرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَا حَيْهِ اِلاَّ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ط مَافَرَطْنَا فىِ الْكِتبِ مِن شَيْئٍ ثُمَّ اِلى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ.
Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Q.S. Al-An’aam : 38)[31]
4. METODE PENDIDIKAN AKHLAK
Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim,
karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di
antaranya adalah :[32]
a. Keteladanan
Metode
ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan
selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam
perbuatan maupun budi pekerti yang luhur.
b. Dengan memberikan tuntunan
Yang
dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak
atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu
perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Qur’an dan
Sunnah.
c. Dengan kisah-kisah sejarah
Islam
memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan
kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, kisah
orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang
ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah menggunakan kisah untuk segala
aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak.
d. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah)
Tuntunan
yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada
keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan
terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya.
e. Memupuk hati nurani
Pendidikan
akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati
nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai
baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap
perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani
merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan
merespon dengan buruk.
Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :[33]
a. Dengan pembiasaan
Tujuannya
adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk
aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan
mengucapkan sesuatu.
b. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap
Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian
c. Pembentukan kerohanian yang luhur
5. MATERI PENDIDIKAN AKHLAK
Mengenai materi akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu :
a. Akhlak Mahmudah
Menurut
Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua
adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam
serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian
membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.[34]
Akhlak yang terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[35]
1) Taat Lahir
Taat
lahir berarti melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan,
termasuk berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan dan
dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan
taat lahir adalah :
a) Tobat
Menurut para sufi adalah fase awal perjalanan menuju Allah (taqarrub ila Allah). Tobat dikategorikan taat lahir dilihat dari sikap dan tingkah laku seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin.
b) Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Yaitu perbuatan yang dilakukan kepda manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan.
c) Syukur
Yaitu berterima kasih pada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya.
2) Taat Batin
Taat
batin adalah segala sifat yangbaik, yang terpuji yang dilakukan oleh
anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin
adalah :
a) Tawakal
Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan.
b) Sabar
Dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika
dilanda malapetaka, sabar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap
maksiat, sabar dalam perjuangan.
c) Qanaah
Yaitu merasa cukup dan rela dengan pemberian yang dianugerahkan oleh Allah.
b. Akhlak madzmumah
Menurut
Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal
dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang
dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang
bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
Pada dasarnya, sifat dan perbiatan yang tercela dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[36]
1) Maksiat Lahir
Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf),
karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan
yang diwajibkan oleh syariat Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi
beberapa bagian, yaitu :
a) Maksiat mata
Seperti
melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki-laki yang
muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat
kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar.
b) Maksiat telinga
Seperti
mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang
mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan
nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada
Allah SWT, mendengarkan umpatan, caci maki, perkataan kotor dan
ucapan-ucapan yang jahat.
c) Maksiat lisan
Seperti
berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan,
berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki atau mengucapkan
kata laknat, baik kepada manusia, binatang, maupun kepada benda-benda
lainnya, menghina, menertawakan, atau merendahkan orang lain, berkata
dusta, dan lain sebagainya.
d) Maksiat perut
Seperti
memasukkan makanan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan dari
harta milik orang lain yang belum jelas (yang diambil dari harta wakaf
tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memberikan wakaf)
e) Maksiat farji (kemaluan)
Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melakukan perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya.
f) Maksiat tangan
Seperti
menggunakan tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas,
mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu
yang diharamkan membacanya.
g) Maksiat kaki
Seperti
jugalah kaki jangan sampai ke tempat-tempat yang haraf. Hendaklah
dijaga dan dipelihara dari segala macam langkah yang salah dan janganlah
dipakai untuk berjalan menuju ke tempat raja yang dzalim itu tanpa
alasan yang sah akan mendorong terjadinya kemaksiatan yang besar.[37]
2) Maksiat batin
Beberapa contoh penyakit batin (akhlak tercela) adalah :[38]
a) Marah (ghadab)
Dapat dikatakan seperti nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan setan pada manusia.
b) Dongkol (hiqd)
Perasaan jengkel yang ada di dalam hati, atau buah dari kemasahan yang tidak tersalurkan.
c) Dengki (hasad)
Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi.
d) Sombong (takabur)
Perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan.
[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 1.
[2] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 51.
[3] Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hlm. 9.
[4] Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 428.
[5] Frederic J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hlm. 4.
[6] Nelson B. Henry, Philosophies of Education, (The United States of America : The University, 1962), hlm. 205.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 15.
[8] Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 26.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5.
[10] Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978), hlm. 386.
[11] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 58.
[12] Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali, “Etika Majemuk Di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, (Bandung : Pustaka, 1975), hlm. 81-82.
[13] Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
[14] Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 670.
[15] Ibid., hlm. 960.
[16] Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th.), hlm. 504.
[17] Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala : Ramadhani, 1984), hlm. 2.
[18] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hlm. 11.
[19] Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136.
[20] Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 114.
[21] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 6-7.
[22] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 352.
[23] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 148.
[24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 862.
[25] Ibid.,hlm. 128.
[26] Ibid., hlm. 526.
[27] Ibid., hlm. 132.
[28] Ibid., hlm. 427.
[29] M.Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 136.
[30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 157.
[31] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 192.
[32] Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj.
Ibnu Burdah, “Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam
Keluarga Muslim, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1998), hlm. 85-95.
[33] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), hlm. 76-81.
[34] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158.
[35] Ibid.,hlm. 159-160.
[36] Ibid., hlm. 155.
[37] Imam Al-Ghazali, Pedoman Amaliah Ibadat,(Semarang : CV.Wicaksana, 1989), hlm.113-117.