CARA MENGUNYAH PERKATAAN YANG TIDAK ENAK

Hal yang juga paling menantang dalam kehidupan seseorang adalah ketika ia harus berhadapan dengan perkataan yang “Tidak Enak”, yakni yang menyakitkan hati, memilukan, dan menyebalkan.
Secara definisi, perkataan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengindikasikan (menyatakan) suatu isyarat, baik melalui suara, tulisan, simbol, sandi (kode), dll. Dengan kata lain, perkataan merupakan segala bentuk komunikasi, baik yang formal (umum) ataupun non-formal (tidak umum).
Perkataan menganut aturan-aturan yang jelas melalui unsur-unsur tata bahasa. Dan klarifikasi (pembagian) bahasa tersebut terbagi dalam dua jenis, yakni bahasa yang baik dan bahasa yang buruk. Dari sinilah nilai suatu perkataan ditentukan. Dan pengertian “Bahasa” di sini bukan hanya bahasa manusia, tapi segala macam bahasa.

Selain itu, perkataan tidak hanya dikenal dalam kehidupan manusia, dunia hewan juga mengenal perkataan. Dan antara manusia dan hewan juga ada transmisi (komunikasi) perkataan. Lihatlah ketika seekor harimau melompati sebuah “lingkaran api” dalam sebuah atraksi sirkus setelah pelatihnya memberikan perkataan (yakni, aba-aba) kepadanya. Kemudian, selain itu, dunia komputer pun juga mengenal perkataan. Istilah perkataan dalam dunia komputer lebih dikenal dengan istilah programming (pemrograman). Dan alur-alur bahasa pemrograman (baca: perkataan) dalam dunia komputer sering disebut dengan script atau code. Misal, jika Anda mengetikkan script (tulisan) http://www.codenamezero.wordpress.com pada address bar browser Anda (misal Internet Explorer, Opera, FireFox, dll). Script tersebut mengindikasikan (menandakan) bahwa Anda sedang berkata kepada komputer Anda untuk mengunjungi halaman website yang sedang Anda lihat ini. Atau dengan cara lain, misalnya meng-klik linknya, maka Anda telah berkata kepada komputer Anda dengan maksud yang sama.
Jadi definisi “perkataan” sebenarnya sangat luas. Bahkan bunyi dering handphone Anda ketika ada panggilan atau SMS masuk, menandakan bahwa sebenarnya handphone Anda tersebut sedang berkata-kata kepada Anda yang artinya, “Aku ingin bicara empat mata denganmu, sekarang!” Atau tentang simbol-simbol alam di sekitar Anda, misal saat angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuh Anda, bisa saja itu ditafsirkan sebagai suatu perkataan yang artinya, “oh, sayang.” atau bisa jadi, “oh, kasihan.” :shock: Atau juga tentang kicauan burung yang merupakan perkataan (baca: bait-bait puisi) yang seringkali tidak dimengerti oleh kebanyakan orang. :???:
Bagaimana dengan “angin topan” atau “kobaran api” yang memusnahkan pemukiman penduduk, apakah itu juga perkataan? :shock: Itu adalah perkataan yang sangat mengerikan yang mungkin saja artinya, “Aku muak dengan keberadaan kalian di sini!” :shock: Sebab itu, berhati-hatilah dengan angin, dan jangan suka bermain api! :???:
Sehingga, definisi “perkataan” yang sebenarnya adalah segala bentuk komunikasi, baik bisa dipahami ataupun tidak. Dan pemahaman ini menuntut suatu pengetahuan (metodologi) tersendiri. Misal, Anda tidak akan bisa memahami perkataan orang jepang kalau Anda tidak punya pengetahuan (baca: ilmu) tentang bahasa Jepang. Anda tidak akan bisa memahami perkataan orang bisu kalau Anda tidak punya pengetahuan tentang arti (baca: maksud) simbol-simbol gerakan-gerakan anggota badan (dalam aturan tata bahasa orang bisu). Anda juga tidak akan bisa memahami perkataan alam, kalau Anda tidak punya pengetahuan tentang ilmu Geofisika. Dan bahkan, Anda tidak akan bisa memahami perkataan al-Qur’an jika Anda tidak mempelajarinya (baik dengan cara mendengar ceramah, atau membaca kitab terjemahan) dan memikirkannya (merenunginya) maknanya. Karena sebenarnya Allah juga memberikan perkataan (baca: berfirman) kepada manusia, tapi kebanyakan manusia tidak tahu (yakni, karena tidak belajar atau karena tidak mau tahu).
Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada tahu. (QS. Saba’: 28)
Padahal, Allah telah mempermudah perkataan (bahasa) al-Qur’an agar manusia bisa mengambil pelajaran darinya.
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. al-Qamar: 17)
Tapi kebanyakan manusia mengabaikannya (tidak memikirkan, mempelajari atau merenungkannya).
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari ayat (tanda-tanda) kekuasaan-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai (cuek) terhadapnya. (QS. Al-Maidah: 146)
Dan manusia memang lebih suka berpaling dari kebenaran.
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur'an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya). (QS. Al-Isra’: 89)
Okay,
Itulah selayang pandang tentang definisi perkataan yang sesungguhnya. Namun, artikel ini hanya akan mengulas satu macam perkataan manusia yang sangat umum dan paling merusak perasaan (hati). Yakni tentang perkataan manusia yang tidak enak, yang memiliki berbagai macam bentuk (misal: cacian, penghinaan, ejekan, sindiran bermakna negatif, dll). Karena pada dasarnya, setiap orang bisa menikmati “perkataan yang tidak enak”. kalau saja ia tahu resep-nya. :D

Hal-hal yang perlu diketahui tentang perkataan yang tidak enak

Perkataan yang tidak enak, khususnya yang berbentuk cacian, sangatlah marak dalam dunia percakapan manusia. Misalnya, dalam percakapan langsung (face to face), dalam forum (rapat/perundingan), blog (melalui comments), media massa, mailing-list, dll. Dan tekniknya pun sangat beragam, mulai dari kata-kata kotor, akronim (singkatan kata), simbol, sindiran, karikatur, ataupun dalam bentuk-bentuk lain yang berpotensi membuat perasaan sakit.

Menghadapi perkataan yang tidak enak ketika dalam keadaan bersalah

Bagi mereka yang memang “nyata-nyata” berbuat salah kemudian memperoleh perkataan yang tidak enak (misal: cacian atau ejekan) maka, hendaknya ia menjadikan cacian tersebut sebagai obat untuk menumbuhkan kesadaran dalam hatinya, dan sebagai jalan untuk memperbaiki kesalahannya. Cacian tersebut mungkin sangat pantas untuknya, sepanjang cacian tersebut tidak berlebihan. Harga diri Anda bisa lebih tinggi daripada orang yang mencaci Anda jika Anda bisa memperbaiki perilaku Anda melebihi perilaku orang yang mencaci Anda. Anda tidak boleh tersinggung jika posisi Anda dalam keadaan seperti ini (yakni, dicaci karena bersalah). Anda harus bersikap dewasa dalam menanggapi cacian. Betapa banyak orang yang dicaci tapi akhirnya malah menjadi orang yang lebih baik dari yang mencaci, karena ia bisa bersikap bijak dalam menanggapi cacian terhadap dirinya yang memang nyata-nyata benar adanya.
Nabi saw. pun juga mencaci orang-orang yang memang pantas diberi cacian. Misalnya, dalam hadits disebutkan tentang perumpamaan orang yang menarik kembali pemberiannya, beliau saw. menjulukinya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekahnya seperti anjing yang muntah kemudian ia kembali kepada muntahnya lalu memakannya.
(Shahih Muslim No.3048)
Bahkan, Allah sendiri juga memberikan cacian terhadap hamba-Nya yang memang pantas menerimanya. Misal, Allah mencaci syaitan dengan sebutan “penipu”.
.Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia menipu kamu, dan jangan kamu tertipu oleh si penipu (syaitan) dalam (menaati) Allah. (QS. Luqman: 33)
Atau tentang cacian Allah kepada orang-orang munafik (yakni, orang yang berpura-pura beriman). Allah mencaci mereka dengan sebutan “pendusta”.
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. Al-Munafiqun: 1)
Dan juga tentang orang-orang yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Allah menyebut (baca: mencaci) mereka dengan sebutan “sesat”.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’: 136)
Dan cacian Allah kepada orang yang tidak mau beriman kepada-Nya. Allah menyebut mereka sebagai orang bodoh.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akankah berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah: 13)
Jadi, disamping mengandung “perkataan yang enak” (baca: janji & pujian terhadap kebaikan), al-Qur’an juga mengandung “perkataan yang tidak enak” (baca: ancaman dan celaan/cacian terhadap keburukan). Allah mencaci “keburukan” agar manusia sadar dan bertaubat. Dan Allah memuji “kebaikan” agar manusia senantiasa tetap taat dalam mengabdi (baca: beribadah) kepada-Nya.
Misal dalam ayat:
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Yunus: 26-27)
Sehingga, bagi orang yang ingin memperbaiki dirinya, maka ia harus sering-sering memperhatikan isi kandungan al-Qur’an yang berupa “perkataan yang tidak enak” (baca: ancaman & cacian terhadap keburukan). Dan bagi orang yang ingin tetap teguh dalam mengikuti kebenaran, maka ia harus sering mengingat-ingat tentang “perkataan yang enak” (baca: janji & pujian terhadap kebaikan) yang ada dalam al-Qur’an.

Menghadapi perkataan yang tidak enak ketika dalam keadaan benar

Bagi seorang muslim yang telah bersikap dan bertindak benar, jika ia menjumpai perkataan yang tidak enak, misal dalam bentuk cacian ataupun hinaan dari seseorang maka, seharusnya ia menjadikan hal tersebut sebagai snack (makanan ringan) bagi hatinya. Maksudnya adalah, hendaknya dia menjadikan hal tersebut sebagai latihan dalam menempa kesabaran hatinya. Mengapa demikian? Karena Nabi saw. pun telah mengalami banyak sekali cacian dan hinaan sepanjang hidupnya. Tapi beliau saw. bersabar karena beliau tahu bahwa cacian dan hinaan itu bukanlah suatu hal penting dan berarti yang perlu ditanggapi secara serius. Perkataan yang serius hanyalah dari Allah dan Rasul-Nya.
Dan ada beberapa alasan kenapa kita tak harus selalu menanggapi cacian yang dilontarkan oleh seseorang. Yakni,
  1. Harga diri manusia tidak ditentukan oleh perkataan orang, tapi ditentukan oleh perbuatannya (ketaqwaannya) sendiri. .Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (yakni, paling benar perbuatannya) di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat: 13)
    Jadi, jika Anda telah berbuat benar, lalu ada orang yang mencaci Anda maka, hal itu tak ada pengaruhnya. Anda tetap sebagai orang yang benar, bukan orang yang salah! Dan jika ada orang yang mencaci Anda dengan sebutan “anjing”, sementara Anda tak punya sifat-sifat seperti anjing (yakni jahat), maka sebenarnya orang yang mencaci itulah yang seperti anjing. Mengapa demikian? Hal ini karena setiap cacian yang “meleset” akan kembali kepada sumbernya (yakni, kepada orang yang mencaci itu sendiri).
    Seperti yang disebutkan dalam hadits berikut tentang konsekuensi (akibat) sebutan “kafir” yang dilontarkan oleh seseorang, tapi meleset.
    . Barang siapa yang memanggil (baca: mencaci) seseorang dengan sebutan "kafir" atau mengatakan "musuh Allah", padahal sebenarnya tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali pada dirinya. (Shahih Muslim No.93)
    Jadi, orang yang menyebut (baca: mencaci) orang yang benar-benar beriman dengan sebutan “kafir”, maka sebenarnya yang mencaci itulah yang kafir, jika tuduhannya itu meleset (baca: salah). Dan dari hadits ini, dapat kita simpulkan bahwa dalam mencaci pun ada tekniknya, yakni tidak boleh sembarangan. Kita tidak boleh mencaci orang lain, dengan perasaan sombong dan asal-asalan. Karena jika cacian tersebut meleset maka, cacian itu akan kembali kepada si pencaci itu sendiri.
    Namun, untuk hal-hal yang telah nyata kebenarannya (yakni dalam hal keburukan), maka kita boleh mencacinya (tanpa berlebihan). Misal, Anda mencaci pejabat pemerintah yang korupsi dengan sebutan “Tikus”. Hal ini diperbolehkan, karena memang begitulah kenyataannya. Dengan syarat Anda adalah orang yang berbeda (yakni, sama sekali bukan koruptor)!
  2. Tujuan orang mencaci hanya ingin memancing kemarahan, sementara Allah menyukai orang yang sabar. . Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali ‘Imran: 146)
    Orang mencaci biasanya hanya karena ingin mencari gara-gara (yakni, memancing kemarahan). Dan hal itu mungkin karena sifat dengki, fanatisme, atau kurang kerjaan (iseng dan suka usil). Anda boleh saja marah, tapi jangan diwujudkan dalam bentuk “cacian” juga, ataupun dalam bentuk-bentuk perbuatan lainnya yang merusak. Anda harus meredam kemarahan Anda. Anda harus sadar, bahwa yang mencaci Anda itu hanyalah manusia yang seperti Anda juga, sama-sama punya dua tangan, sama punya dua kaki, sama-sama punya satu mulut, sama-sama punya satu kepala, dll. jelasnya adalah, “Anda” dan “dia” sama-sama dari tanah. Bahkan, dia bukan Nabi dan bukan pula Rasul. Sangat tidak bijak jika Anda memberikan perhatian yang serius terhadap caciannya, mengingat dia adalah orang yang gak penting. Dia mungkin hanya punya keterampilan mencaci, tidak lebih. Dan jika Anda menanggapi caciannya itu, maka sebenarnya Anda telah membuatnya senang, karena usahanya dalam memancing kemarahan Anda telah berhasil.
    Yang perlu Anda lakukan adalah bersikap cuek (baca: masa bodoh) terhadap caciannya itu, dia bukan siapa-siapa, itu intinya!
  3. Seorang mukmin (baca: orang beriman) tak sepantasnya membalas cacian dengan cacian (baca: mencaci). Seorang mukmin bukanlah pengumpat (tukang gosip), suka mengutuk, berkata keji (kotor) atau berkata busuk (berbohong, mencaci, dll). (HR. Bukhari dan Al Hakim)
    Kita hanya dianjurkan untuk membalas kebaikan dengan kebaikan, dan tidak dianjurkan membalas keburukan dengan keburukan. Takdir itu selalu adil, barangsiapa yang berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa berbuat keburukan, maka keburukan itu untuk dirinya sendiri.
    Barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhan-mu lah kamu
    dikembalikan.
    (QS. Al-Jatsiyah: 15)

Teknik menghadapi perkataan yang tidak enak

Nabi saw. juga telah mengembangkan teknik kesabaran yang paling menakjubkan sepanjang sejarah, dalam hal menanggapi perkataan yang tidak enak. Hal tersebut beliau lakukan demi Efisiensi Perasaan agar sumber daya perasaannya tidak terkuras pada hal-hal yang tidak penting.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah orang kuat itu karena menang berkelahi (berdebat, bertengkar), tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah (misal, tidak menghiraukan cacian yang tidak penting).
(Shahih Muslim No.4723)
Dan ingatlah juga, bahwa harga diri (baca: kemuliaan) seseorang itu ditentukan oleh akhlaknya. Jika Anda membalas cacian seseorang dengan cacian juga, maka ketahuilah, bahwa Anda dan orang yang mencaci Anda itu adalah sama, yakni sama-sama suka mencaci. Jelasnya adalah, sama-sama buruknya. Lebih jelasnya lagi adalah, tak ada perbedaan antara Anda dengan orang yang mencaci Anda itu, karena sama-sama rendahnya. Dan itu sudah sangat jelas.
Kemuliaan orang adalah agamanya, harga dirinya (kehormatannya) adalah akalnya, sedangkan ketinggian kedudukannya adalah akhlaknya (misal, berbuat santun dan menanggapi cacian dengan cara yang bijak). (HR. Ahmad dan Al Hakim)
Sebab itulah, ketika ada orang yang meminta nasihat kepada Nabi saw. maka, Nabi saw. memberikan nasihat kepada orang itu agar tidak menjadi orang yang suka marah.
Seorang sahabat berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, berikanlah aku wasiat." Nabi Saw berpesan, "Jangan suka marah (emosi)." Sahabat itu bertanya berulang-ulang dan Nabi Saw tetap berulang kali berpesan, "Jangan suka marah." (HR. Bukhari)
Dan orang yang tidak melayani (baca: membalas) cacian sebenarnya adalah orang yang beruntung karena ia telah terbebas dari perbuatan yang tidak berguna.
Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (QS. al-Mukminun: 1-3)
Cara efektif dalam menghadapi cacian
  1. Berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (membaca ta’awuz: A’udzubillahi minasyaithanirrajim). Hadis riwayat Sulaiman bin Shurad ra., ia berkata:
    Dua orang pemuda saling mencaci di hadapan Rasulullah saw. lalu mulailah mata salah seorang dari mereka memerah dan urat lehernya membesar. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya aku tahu suatu kalimat yang apabila diucapkan, maka akan hilanglah kemarahan yang didapati yaitu “A’udzubillahi minasyaithanirrajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Lelaki itu berkata: Apakah engkau menyangka aku orang gila?. (Shahih Muslim No.4725)
  2. Biarkan saja cacian orang itu, karena orang itu pasti akan celaka (baca: mengalami nasib buruk) dengan sendirinya (jika ia tak bertaubat).
    Apabila ada orang yang mencaci-maki kamu tentang apa yang dia ketahui pada dirimu, janganlah kamu mencaci-maki dia tentang apa yang kamu ketahui pada dirinya karena pahalanya untuk kamu dan kecelakaan (baca: takdir buruk) untuk dia (yang mencaci). (HR. Ad-Dailami)
  3. Berdoa dalam hati dengan mengatakan, “Yaa Allah, aku serahkan orang ini kepada-Mu.” Berikut adalah salah satu contoh panutan dari Nabi saw. dalam menghadapi ejekan seseorang.
    Hadis riwayat Ibnu Mas`ud ra., ia berkata:
    Ketika Rasulullah saw. sedang salat di dekat Ka'bah dan Abu Jahal beserta kawan-kawannya sedang duduk padahal sehari sebelumnya unta kurban telah disembelih. Berkatalah Abu Jahal, "Siapakah di antara kamu sekalian yang mau beranjak ke kotoran unta Bani fulan itu lalu mengambilnya dan meletakkannya di atas kedua pundak Muhammad sewaktu ia sujud?" Maka bangkitlah seorang yang paling jahat di antara mereka dan segera mengambil kotoran itu. Di saat Nabi saw. bersujud, ia meletakkan kotoran itu di atas kedua pundak beliau. Lalu mereka pun tertawa terpingkal-pingkal sambil satu sama lain saling melirik sedangkan aku berdiri menyaksikan kejadian itu. Seandainya aku mempunyai kekuatan, niscaya akan aku buang kotoran itu dari punggung Rasulullah saw. Rasulullah saw. tetap saja masih bersujud, tidak mengangkat kepalanya hingga seorang lelaki pergi mengabarkan kepada Fatimah. Kemudian datanglah Fatimah, yang saat itu masih gadis kecil, membuang kotoran dari tubuh beliau lalu menghampiri ke arah mereka sambil mencaci-maki. Setelah Nabi saw. selesai salat, beliau mengangkat suara kemudian berdoa memohon bencana atas mereka. Rasulullah saw. jika berdoa, berdoa tiga kali dan jika memohon, juga memohon tiga kali. Kemudian beliau bersabda, "Ya Allah, aku serahkan kepadamu orang-orang kafir Quraisy tersebut." Doa ini beliau baca tiga kali. Ketika mendengar suara Nabi saw. itu, terhentilah tawa mereka. Mereka benar-benar merasa takut akan doa beliau tersebut. Kemudian Nabi saw. berdoa lagi, "Ya Allah, aku serahkan kepadamu Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabi`ah, Syaibah bin Rabi`ah, Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abu Mu`aith (yang ketujuh aku tidak ingat namanya)." Demi Tuhan Yang mengutus Muhammad saw. dengan membawa kebenaran. Sungguh aku melihat orang-orang yang beliau sebutkan itu semua terbunuh dalam perang Badar. Kemudian jasad mereka diseret ke dalam sumur tua, yaitu sumur tua yang ada di Badar.
    (Shahih Muslim No.3349)

Kesimpulan

Kita boleh menanggapi perkataan tidak enak yang dilontarkan oleh seseorang, tapi bukan dengan cara yang buruk dan ceroboh., melainkan dengan cara yang bijak (baca: sopan).
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (sopan). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
Sehingga, jika ada orang yang mengejek atau menghina Anda dengan sebutan,
“Dasar, anjing!”
Maka, jawablah hinaan tersebut dengan cara bijak,
“Apakah dasar Anda memanggil saya anjing, padahal kaki saya cuman 2 dan saya juga tidak berekor?!”
.
Selain itu,
Kita juga bisa menanggapi suatu keburukan dengan cara yang dianjurkan oleh Nabi saw., yakni diam jika kita tidak bisa berkata yang baik.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam (saja). (HR. Bukhari)
Anda boleh marah, tapi sebaiknya diredam (baca: dipendam).
Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam (diredam, jangan diteruskan). (HR. Ahmad)
Kita juga bisa bersikap cuek (baca: mengabaikan) terhadap suatu “perkataan yang tidak enak” dengan cara mengalihkan pikiran dan perasaan kita kepada hal-hal yang lebih bermutu (yakni, yang lebih bermanfaat dan menghibur perasaan). Dengan kata lain, kita harus mengalihkan konsentrasi kita kepada hal-hal lain yang bisa meredam atau membuat kita lupa akan kemarahan kita. Misal saja, dengan cara membaca buku fiksi (dongeng, cerita anak), buku-buku sastra, berita teknologi, dll. Atau aktivitas-aktivitas lainnya yang menenangkan pikiran kita, seperti makan kue, bercanda dan ngobrol dengan adik/teman. Itulah yang kadang saya lakukan kalau saya lagi kesal terhadap suatu hal, yakni makan kue, baca buku cerita atau ngobrol dan bercanda dengan adik saya. Sehingga kalau marah, saya bisa makan banyak kue. :shock: Kita boleh makan kue, tapi tidak boleh makan hati!
Namun, ada cara yang lebih maju dalam hal “teknik menenangkan pikiran”, yakni berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya. Karena sesungguhnya di dalam dzikir terkandung “rahasia” yang sangat banyak dalam hal menenangkan pikiran. Rahasia tersebut tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dengan kata lain, hanya orang-orang yang hobi berdzikir yang tahu rahasianya. Dzikir sangat berpengaruh dalam menenangkan hati (baca: perasaan). Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dzikir adalah membaca puji-pujian kepada Allah sesuai yang disyariatkan (dianjurkan) oleh Nabi saw..
Itulah sebabnya, sebelum makan kue, saya berdzikir dengan cara membaca basmalah (yakni, Bismillahirrahmaanirrahim: Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Begitu juga sebelum membaca suatu buku, saya pun berdzikir dengan cara membaca basmalah. Jadi, sebenarnya yang meredam kemarahan perasaan saya itu bukannya “Kue” yang saya makan ataupun “buku” yang saya baca itu, melainkan dzikir yang saya lakukan ketika saya mengawali perbuatan saya itu (yakni, ketika hendak makan kue atau membaca buku).

Akhirnya

Itulah penjabaran yang cukup panjang tentang bagaimana menghadapi “perkataan yang tidak enak”. Mengapa saya menjabarkannya begitu panjang dan terperinci? Yakni, agar wawasan Anda tidak sesempit wawasan orang-orang yang suka melontarkan “perkataan yang tidak enak”, yang bisanya cuman menyakiti perasaan orang, tidak lebih. Dan bagi Anda yang hobi menyakiti perasaan orang, hendaknya membuang jauh-jauh kebiasaan seperti itu serta bertaubat. sebelum terlambat. karena waktu berjalan sangat cepat dan tak bisa dihambat. Sementara takdir (baca: aturan hidup) tidak pernah pilih kasih. Semua konsekuensi (akibat) perbuatan seseorang akan diperhitungkan dengan sangat teliti. Dan konsekuensi tersebut akan menimpa dalam dua kemungkinan, yakni dalam kehidupan dunia atau di kehidupan yang akan datang (akhirat). Allah adalah Dzat Yang Maha Memperhitungkan. Dengan kata lain, Allah membuat perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dengan teramat sangat teliti!
Kendalikan perasaan Anda, dan perhatikan semua tindakan Anda. Anda tak perlu menguasai dunia jika Anda bisa menguasai perasaan Anda. Dan Anda tak perlu khawatir menjadi orang yang "hina" jika sudah mampu bertindak (berakhlak) baik.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post