Sejarah Romawi Timur

Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (ejaan lain: Bizantin, Byzantin, Byzantine) adalah wilayah timur Kekaisaran Romawi yang terutama berbahasa Yunani[1] pada Abad Kuno dan Pertengahan. Penduduk dan tetangga-tetangga Kekaisaran Bizantium menjuluki negeri ini Kekaisaran Romawi atau Romania (Yunani: Ῥωμανία, Rhōmanía). Kekaisaran ini berpusat di Konstantinopel, dan dikuasai oleh kaisar-kaisar yang merupakan pengganti kaisar Romawi kuno setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Tidak ada konsensus mengenai tanggal pasti dimulainya periode Romawi Timur. Beberapa orang menyebut masa kekuasaan Diokletianus (284-305) dikarenakan reformasi-reformasi pemerintahan yang ia perkenalkan, yang membagi kerajaan tersebut menjadi pars Orientis dan pars Occidentis. Pihak lainnya menyebut masa kekuasaan Theodosius I (379-395), atau setelah kematiannya pada tahun 395, saat kekaisaran terpecah menjadi bagian Timur dan Barat. Ada juga yang menyebut tahun 476, ketika Roma dijajah untuk ketiga kalinya dalam seabad yang menandakan jatuhnya Barat (Latin), dan mengakibatkan kaisar di Timur (Yunani) mendapatkan kekuasaan tunggal.[2] Bagaimanapun juga, titik penting dalam sejarah Romawi Timur adalah ketika Konstantinus yang Agung memindahkan ibukota dari Nikomedia (di Anatolia) ke Byzantium (yang akan menjadi Konstantinopel) pada tahun 330.

Negeri ini berdiri selama lebih dari ribuan tahun. Selama keberadaannya, Bizantium merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang kuat di Eropa, meskipun terus mengalami kemunduran, terutama pada masa Peperangan Romawi-Persia dan Bizantium-Arab. Kekaisaran ini direstorasi pada masa Dinasti Makedonia, bangkit sebagai kekuatan besar di Mediterania Timur pada akhir abad ke-10, dan mampu menyaingi Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah tahun 1071, sebagian besar Asia Kecil direbut oleh Turki Seljuk. Restorasi Komnenos berhasil memperkuat dominasi pada abad ke-12, tetapi setelah kematian Andronikos I Komnenos dan berakhirnya Dinasti Komnenos pada akhir abad ke-12, kekaisaran kembali mengalami kemunduran. Bizantium semakin terguncang pada masa Perang Salib Keempat tahun 1204, ketika kekaisaran ini dibubarkan secara paksa dan dipisah menjadi kerajaan-kerajaan Yunani dan Latin yang saling berseteru. Kekaisaran berhasil didirikan kembali pada tahun 1261, dibawah pimpinan kaisar-kaisar Palaiologos, tetapi perang saudara pada abad ke-14 terus melemahkan kekuatan kekaisaran. Sisa wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah dalam Peperangan Bizantium-Utsmaniyah. Akhirnya, Konstantinopel berhasil direbut oleh Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453, menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur.
Daftar isi

Kekaisaran ini mulai disebut "Bizantium" di Eropa Barat pada tahun 1557, ketika sejarawan Jerman Hieronymus Wolf menerbitkan karyanya yang berjudul Corpus Historiæ Byzantinæ. Istilah "Bizantium" berasal dari kata "Byzantium", yaitu nama kota Konstantinopel sebelum menjadi ibukota Konstantinus yang Agung. Semenjak itu, nama lama ini jarang digunakan, kecuali dalam konteks sejarah dan puisi. Selanjutnya, Byzantine du Louvre (Corpus Scriptorum Historiæ Byzantinæ) tahun 1648 dan Historia Byzantina karya Du Cange tahun 1680 semakin memopulerkan istilah Bizantium di antara pengarang-pengarang Perancis, seperti Montesquieu.[3] Istilah ini kemudian menghilang hingga pada abad ke-19 ketika orang-orang Barat kembali menggunakannya.[4] Sebelumnya, istilah Yunani-lah yang digunakan untuk kekaisaran ini.

Negeri ini dijuluki oleh penduduknya dengan nama Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Orang-orang Romawi (Latin: Imperium Romanum, Imperium Romanorum, Yunani: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων, Basileía tôn Rhōmaíōn, Αρχη τῶν Ῥωμαίων, Arche tôn Rhōmaíōn), Romania[n 1] (Latin: Romania, Greek: Ῥωμανία, Rhōmanía), Republik Romawi (Latin: Res Publica Romana, Yunani: Πολιτεία τῶν Ῥωμαίων, Politeίa tôn Rhōmaíōn),[6] Graikía (Greek: Γραικία),[7] dan juga Rhōmaís (Ῥωμαΐς).[8]

Meskipun Kekaisaran Romawi Timur memiliki ciri multietnis dalam sejarahnya,[9] serta menjaga tradisi Romawi-Helenistik,[10] negeri ini dikenal oleh negeri-negeri barat dan utara pada masanya dengan nama Kekaisaran Orang-orang Yunani[n 2] karena kuatnya pengaruh Yunani.[11] Penggunaan istilah Kekaisaran Orang-orang Yunani (Latin: Imperium Graecorum) di Barat merupakan lambang penolakan klaim Bizantium sebagai Kekaisaran Romawi.[12] Klaim Romawi Timur terhadap pewarisan Romawi ditentang di Barat pada masa Maharani Irene dari Athena, karena pengangkatan Karel yang Agung sebagai Kaisar Romawi Suci tahun 800 oleh Paus Leo III, yang memandang takhta Romawi kosong (tidak ada penguasa laki-laki). Paus dan penguasa dari Barat lebih menyukai istilah Imperator Romaniæ daripada Imperator Romanorum, gelar yang digunakan hanya untuk Karel yang Agung dan penerus-penerusnya.[13]

Sementara itu, pada peradaban Persia, Islam, dan Slavia, identitas Romawi negeri ini diakui. Di dunia Islam, Kekaisaran Romawi Timur dikenal dengan nama روم (Rûm "Roma").[14][15]

Dalam atlas-atlas sejarah modern, kekaisaran ini biasanya dijuluki Kekaisaran Romawi Timur pada periode antara 395 hingga 610. Pada peta-peta yang menggambarkan Kekaisaran setelah tahun 610, istilah Kekaisaran Bizantium biasanya dipakai, karena pada tahun 620, kaisar Heraklius mengganti bahasa resmi kekaisaran dari Latin ke Yunani.[16]
[sunting] Jati diri

"Bizantium bisa didefinisikan sebagai kekaisaran multi-etnis yang muncul sebagai kekaisaran Kristen, yang kemudian segera terdiri dari kekaisaran Timur yang sudah di-Helenisasi dan mengakhiri sejarah ribuan tahunnya, pada 1453, sebagai Negara Ortodoks Yunani: Sebuah kerajaan yang menjadi negara, hampir dengan arti modern kata tersebut”. 1

Dalam abad-abad setelah penjajahan Arab dan Lombard pada abad ke-7, sifat multi-etnisnya (meski bukan multi-bangsa) tetap ada meskipun bagian-bagiannya, Balkan dan Asia Kecil, mempunyai populasi Yunani yang besar. Etnis minoritas dan komunitas besar beragama lain (misalnya bangsa Armenia) tinggal dekat perbatasan. Rakyat Romawi Timur menganggap diri mereka adalah seorang Ρωμαίοι (Rhomaioi - Romawi) yang telah menjadi sinonim bagi seorang Έλλην (Hellene - Yunani), dan secara giat mengembangkan kesadaran diri sebagai negara, sebagai penduduk Ρωμανία (Romania, yang merupakan panggilan bagi Negara Romawi Timur dan dunianya). Hal ini secara jelas tampil dalam karya sastra pada periode tersebut, terutamanya dalam wiracarita seperti Digenes Akrites.

Peleburan resmi negara Romawi Timur pada abad ke-15 tidak secara langsung menghancurkan masyarakat Romawi Timur. Pada masa pendudukan Turki, orang-orang Yunani terus memanggil diri mereka sebagai Ρωμαίοι (bangsa Romawi) dan Έλληνες (bangsa Yunani), sebuah ciri-ciri yang tetap ada hingga awal abad ke-21 dan masih ada di Yunani modern kini, meski “Romawi” telah menjadi nama “rakyat” daripada sinonim bangsa seperti zaman dulu.
[sunting] Sejarah
[sunting] Sejarah awal Kekaisaran Romawi

Pasukan Romawi ketika itu telah berhasil menguasai daerah luas yang melingkupi seluruh wilayah Mediterania dan sebagian besar Eropa Timur. Wilayah-wilayah ini terdiri dari berbagai kelompok budaya, baik yang masih primitif maupun yang telah memiliki peradaban maju. Secara umum, provinsi-provinsi di wilayah Mediterania timur lebih makmur dan maju karena telah mengalami perkembangan pesat pada masa Kekaisaran Makedonia serta telah mengalami proses hellenisasi. Sementara itu, provinsi di wilayah Barat kebanyakan hanya berupa pedesaan yang tertinggal. Perbedaan antara kedua wilayah ini bertahan lama dan menjadi penting di tahun-tahun berikutnya.[17]
[sunting] Pemisahan Kekaisaran Romawi

Pada tahun 293, Diokletianus menciptakan sistem administratif yang baru (tetrarki),[18] sebagai institusi yang dimaksudkan untuk mengefisienkan kontrol Kekaisaran Romawi yang luas. Ia membagi Kekaisaran menjadi dua bagian, dengan dua kaisar memerintah dari Italia dan Yunani, masing-masing memiliki wakil-kaisar. Setelah masa kekuasaan Diokletianus dan Maximianus berakhir, tetrarki runtuh, dan Konstantinus I menggantinya dengan prinsip penggantian turun temurun.[19]

Konstantinus memindahkan pusat kekaisaran, dan membawa perubahan-perubahan penting pada konstitusi sipil dan religius.[20] Pada tahun 330, ia mendirikan Konstantinopel sebagai Roma kedua di Byzantium. Posisi kota tersebut strategis dalam perdagangan antara Timur dan Barat. Sang kaisar memperkenalkan koin (solidus emas) yang bernilai tinggi dan stabil,[21] serta and mengubah struktur angkatan bersenjata. Dibawah Konstantinus, kekuatan militer kekaisaran kembali pulih. Periode kestabilan dan kesejahteraan pun dapat dinikmati.
Pembaptisan Konstantinus yang dilukis oleh murid-murid Raphael (1520–1524). Eusebius dari Caesaria mencatat bahwa Konstantinus menunda pembaptisan hingga saat sebelum kematiannya, seperti yang menjadi tradisi pada masa itu.[22]

Dibawah Konstantinus, Kekristenan tidak menjadi agama eksklusif negara, tetapi didukung oleh kekaisaran, apalagi sang kaisar mendukungnya dengan hak-hak yang berlimpah. Sang kaisar memperkenalkan prinsip bahwa kaisar tidak perlu menyelesaikan pertanyaan doktrin, tetapi perlu memanggil dewan-dewan kegerejaan untuk tujuan itu. Synod Arles dihimpunkan oleh Konstantinus, dan Konsili Nicea Pertama memamerkan klaimnya untuk menjadi kepala gereja.[23]

Keadaan kekaisaran tahun 395 dapat dikatakan sebagai hasil kerja Konstantinus. Prinsip dinasti diterapkan dengan tegas sehingga kaisar yang meninggal pada masa itu, Theodosius I, dapat mewariskan kekaisaran pada anak-anaknya: Arcadius di Barat dan Honorius di Timur. Theodosius merupakan kaisar terakhir yang menguasai seluruh Romawi Barat dan Timur.[24]

Kekaisaran Timur terhindar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Barat pada abad ketiga dan keempat, karena Timur memiliki budaya urban yang lebih mapan dan sumber daya finansial yang lebih kuat, sehingga mampu menghentikan penyerang dengan upeti dan menyewa tentara-tentara bayaran. Theodosius II memperkuat tembok Konstantinopel, sehingga kota tersebut aman dari serangan-serangan; tembok tersebut tidak dapat ditembus hingga tahun 1204. Untuk mengusir orang-orang Hun yang berada dibawah pimpinan Attila, Theodosius memberi mereka subsidi (konon 300 kg (700 lb) emas).[25] Moreover, he favored merchants living in Constantinople who traded with the Huns and other foreign groups.
Kekaisaran Romawi Timur tahun 500 M.

Penerusnya, Marcianus, menolak melanjutkan membayar upeti ini. Beruntungnya, Attila telah mengalihkan perhatiannya pada Kekaisaran Romawi Barat.[26] Setelah kematiannya tahun 453, negeri Attila runtuh dan Konstantinopel membuka hubungan yang menguntungkan dengan orang-orang Hun yang tersisa. Mereka akhirnya bertempur sebagai tentara bayaran dalam angkatan bersenjata Bizantium.[27]

Setelah jatuhnya Attila, perdamaian dapat dinikmati di Romawi Timur, sementara Romawi Barat runtuh (keruntuhannya tercatat pada tahun 476, ketika jenderal Romawi Jermanik Odoacer menjatuhkan kaisar Romulus Augustulus).

Untuk merebut kembali Italia, kaisar Zeno hanya bisa bernegosiasi dengan Ostrogoth yang telah menetap di Moesia. Ia mengirim raja Ostrogoth Theodoric ke Italia sebagai magister militum per Italiam ("kepala komando untuk Italia"). Setelah berhasil menjatuhkan Odoacer pada tahun 493, Theodoric menguasai Italia.[24]

Pada tahun 491, Anastasius I menjadi kaisar. Ia adalah seorang reformis energetik dan administrator yang cakap. Anastasius menyempurnakan sistem koin Konstantinus I dengan mengatur bobot follis perunggu, koin yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[28] Ia juga mengubah sistem perpajakan, serta menghapuskan pajak chrysargyron yang tidak disukai. Ketika Anastasius meninggal dunia pada tahun 518, jumlah kas negara tercatat sebesar 320.000 lbs (145.150 kg) emas.[29]
[sunting] Penaklukan kembali Romawi Barat
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Justinianus I
Mosaik Justinianus I di Basilika San Vitale, Ravenna.

Justinianus I, yang naik takhta pada tahun 527, melancarkan penaklukan kembali Romawi Barat.[30] Pada tahun 532, putra petani Illyria itu menandatangani perjanjian damai dengan Khosrau I dari Persia. Meskipun harus membayar upeti tahunan yang besar, front timur Bizantium menjadi aman. Pada tahun yang sama, Justinianus selamat dari kerusuhan Nika di Konstantinopel, yang berakhir dengan kematian tiga puluh ribu perusuh. Kemenangan ini memperkuat posisi Justinianus.[31] Paus Agapetus I dikirim ke Konstantinopel oleh raja Ostrogoth Theodahad, tetapi gagal mencapai kesepakatan perdamaian dengan Justinianus. Akan tetapi, ia berhasil membuat monofisitisme dicela.

Penaklukan kembali Romawi Barat dimulai pada tahun 533. Justinianus mengirim jenderalnya Belisarius dan 15.000 tentara untuk merebut kembali provinsi Afrika dari suku Vandal. Kerajaan Vandal berhasil ditundukkan. Sementara itu, di Italia Ostrogoth, raja Athalaric pada 2 Oktober 534. Ibunya, Amalasuntha, dipenjarakan dan dibunuh oleh Theodahad di pulau Martana. Justinianus melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan intervensi. Pada tahun 535, tentara Bizantium dikirim ke Sisilia. Kemenangan berhasil digapai, tetapi Ostrogoth memperkuat perlawanan mereka. Kemenangan baru benar-benar dicapai pada tahun 540, ketika Belisarius merebut Ravenna.[32]
Wilayah Bizantium pada masa Justinianus.

Sayangnya, Ostrogoth berhasil disatukan kembali dibawah pimpinan Totila dan merebut Roma pada 17 Desember 546. Belisarius ditarik oleh Justinianus pada awal tahun 549.[33] Kasim Narses menggantikannya pada akhir tahun 551 dengan membawa tentara sejumlah 35.000. Totila berhasil dikalahkan dan tewas dalam Pertempuran Busta Gallorum. Penerusnya, Teia, berhasil ditaklukan dalam Pertempuran Mons Lactarius (Oktober 552). Selanjutnya, suku Goth masih terus melawan. Suku Franka dan Alamanni pun melancarkan invasi mereka. Meskipun begitu, perang untuk menguasai semenanjung Italia telah berakhir dengan kemenangan Romawi Timur.[34]

Pada tahun 551, bangsawan Visigoth di Hispania, Athanagild, memohon bantuan Justinianus dalam pemberontakan melawan raja. Sang kaisar mengirim tentara dibawah pimpinan Liberius. Kekaisaran Bizantium berhasil menguasai sepotong wilayah di pantai Spania hingga masa kekuasaan Heraklius.[35]

Sementara itu, di timur, Peperangan Romawi-Persia berkecamuk hingga tahun 561, ketika Justinianus dan Khosrau menyetujui perdamaian selama 50 tahun. Pada pertengahan tahun 550, Justinianus telah mencapai kemenangan dalam semua peperangan, dengan pengecualian di Balkan, ketika kekaisaran terus menerus diserang oleh bangsa Slavia. Pada tahun 559, kekaisaran diancam oleh Kutrigur dan Sklavinoi. Justinianus memanggil Belisarius, dan begitu bahaya telah sirna, sang kaisar mengambil alih kekuasaan sendiri. Berita bahwa Justinianus memperkuat armada Donaunya membuat Kutrigur cemas, sehingga mereka setuju dengan traktat yang memberi mereka subsidi dan jalur yang aman di sungai.[31]

Justinianus juga terkenal karena pencapaiannya dalam bidang hukum.[36] Pada tahun 529, komisi berjumlah sepuluh orang yang dikepalai oleh Iohannis Orientalis merevisi undang-undang Romawi kuno. Seluruh "undang-undang Justinianus" saat ini dikenal dengan nama Corpus Juris Civilis.

Selama abad ke-6, budaya Yunani-Romawi masih berpengaruh kuat di Timur. Filsafat dan budaya Kristen menjadi semakin penting dan mulai mendominasi budaya lama. Himne-himne yang Romanus Melodus menandai pengembangan Liturgi Ketuhanan. Aristek-arsitek dan pembangun bekerja keras untuk menyelesaikan gereja baru Hagia Sophia yang menggantikan gereja lama yang hancur akibat kerusuhan Nika. Selama abad keenam dan ketujuh, kekaisaran diguncang oleh wabah pes, yang membinasakan banyak jiwa, serta mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pelemahan kekaisaran.[37]

Setelah Justinianus mangkat pada tahun 565, penggantinya, Justinus II, menolak membayar upeti untuk Persia. Sementara itu, suku Lombard menyerbu Italia. Pengganti Justinus, Tiberius II, memberi subsidi kepada suku Avar, sementara melancarkan serangan terhadap Persia. Subsidi gagal menenangkan suku Avar. Mereka merebut benteng Sirmium tahun 582, sementara bangsa Slavia mulai menyeberangi sungai Donau. Maurice, yang menggantikan Tiberius, turut campur dalam perang saudara Persia, serta menempatkan Khosrau II kembali ke takhta dan menikahkan putrinya dengannya. Traktat Maurice dengan ipar barunya membawa status quo baru di timur, dan mengurangi biaya pertahanan selama perdamaian ini (jutaan solidi berhasil diselamatkan berkat remisi upeti untuk Persia). Setelah kemenangannya di front timur, Maurice dapat mengalihkan perhatiannya ke Balkan, dan pada tahun 602, ia berhasil mengusir suku Avar dan Slavia.[24]

Setelah Maurice dibunuh oleh Phocas, Khosrau mencoba menaklukan provinsi Mesopotamia Romawi.[38] Phocas, seorang pemimpin tak populer yang dideskripsikan sebagai "tiran" dalam sumber-sumber Bizantium, merupakan target konspirasi-konspirasi senat. Ia dijatuhkan pada tahun 610 oleh Heraklius.[39] Setelah Heraklius berkuasa, tentara Persia terus mendesak hingga memasuki Asia Kecil. Mereka menduduki Damaskus dan Yerusalem, serta memindahkan Salib Sesungguhnya ke Ctesiphon.[40] Heraklius melancarkan serangan balasan dengan ciri perang suci. Tentara Romawi Timur berperang dengan membawa citra acheiropoietos Kristus sebagai panji militer.[41] Tentara Persia berhasil dihancurkan dalam pertempuran di Ninewe tahun 627. Pada tahun 629, Heraklius mengembalikan Salib Sesungguhnya ke Yerusalem dalam upacara yang penuh keagungan.[42] Perang ini melemahkan Bizantium dan Sassaniyah Persia, serta membuat keduanya rentan terhadap serangan tentara-tentara Muslim Arab yang sedang bangkit pada masa itu.[43] Tentara Arab berhasil menghancurkan tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, dan Ctesiphon jatuh pada tahun 634.[44]
Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 650.

Tentara Arab, yang telah menaklukan Suriah dan Levant, terus menerus menyerang Anatolia, dan antara tahun 674 hingga 678 mengepung Konstantinopel. Armada Arab berhasil diusir dengan menggunakan api Yunani, dan gencatan senjata selama tiga puluh tahun disetujui antara kekaisaran dengan Kekhalifahan Umayyah.[45] Serangan terhadap Anatolia terus berlanjut, dan mempercepat matinya budaya urban klasik. Penduduk-penduduk banyak yang membentengi kembali wilayah-wilayah yang lebih kecil dalam benteng kota lama, atau pindah ke benteng-benteng terdekat.[46] Besar Konstantinopel sendiri juga menyusut, dari 500.000 penduduk menjadi hanya 40.000-70.000 saja, yang disebabkan karena Konstantinopel kehilangan sumber gandum pada tahun 618 ketika Mesir direbut oleh Persia (provinsi ini dapat direbut kembali tahun 629, tetapi akhirnya dikuasai oleh Arab pada tahun 642).[47]
Api Yunani digunakan pertama kali oleh angkatan bersenjata Bizantium selama Peperangan Bizantium-Arab.

Penarikan tentara di Balkan untuk bertempur melawan Persia dan Arab di timur telah membuka pintu bagi perluasan wilayah bangsa Slavia. Akibatnya, seperti di Anatolia, banyak kota menyusut menjadi permukiman terbenteng yang kecil.[48] Pada tahun 670-an, bangsa Bulgaria didesak ke selatan sungai Donau oleh bangsa Khazar. Tentara Bizantium yang dikirim untuk membubarkan permukiman-permukiman baru ini dikalahkan pada tahun 680. Konstantinus IV lalu menandatangani perjanjian dengan khan Bulgaria Asparukh, dan negara Bulgaria baru memperoleh kedaulatan atas beberapa suku-suku Slavia yang sebelumnya mengakui kekuasaan Bizantium.[49] Pada tahun 687–688, kaisar Justinianus II memimpin ekspedisi melawan Slavia dan Bulgaria yang cukup berhasil.[50]

Kaisar Heraklius terakhir, Justinianus II, mencoba menghancurkan kekuatan aristokrasi perkotaan melalui perpajakan dan penunjukkan "orang luar" dalam jabatan-jabatan administratif. Ia dijatuhkan pada tahun 695, dan berlindung ke bangsa Khazar, lalu Bulgaria. Pada tahun 705, Justinianus II kembali ke Konstantinopel bersama tentara khan Bulgaria, Tervel. Ia merebut kembali takhta, dan mendirikan rezim teror bagi musuh-musuhnya. Justinianus II dijatuhkan kembali pada tahun 711, sehingga berakhirlah Dinasti Heraklius.[51]
[sunting] Dinasti Isauria hingga masa saat Basil I naik takhta
Kekaisaran Romawi Timur saat Leo III naik takhta tahun 717. Wilayah bergaris merupakan daerah yang diserang oleh bangsa Arab.

Leo III berhasil mengusir serangan Muslim tahun 718, dan menggapai kemenangan dengan bantuan dari khan Bulgaria, Tervel, yang berhasil membunuh 32.000 pasukan Arab dengan tentaranya. Penerusnya, Konstantinus V, mencapai kemenangan di Suriah utara, dan melemahkan kekuatan Bulgaria.

Pada tahun 826, Arab merebut Kreta, dan menyerang Sisilia, tetapi pada 3 September 863, jenderal Petronas berhasil menggapai kemenangan besar dalam pertempuran melawan Umar al-Aqta, emir Melitene. Dibawah kepemimpinan kaisar Bulgaria Krum, ancaman Bulgaria muncul kembali, tetapi pada tahun 814, putra Krum, Omortag, berdamai dengan Kekaisaran Bizantium.[52]
Ikonoklasme Bizantium pada abad ke-9.

Abad kedelapan dan kesembilan kental dengan kontroversi dan perpecahan religius akibat ikonoklasme. Ikon-ikon dilarang oleh Leo III dan Konstantinus V, yang mengakibatkan pemberontakan yang dilancarkan oleh ikonodul (pendukung ikon) di seluruh kekaisaran. Atas upaya Maharani Irene, Konsili Nicea Kedua dihimpunkan tahun 787, dan menegaskan bahwa ikon dapat dihormati tetapi tidak disembah. Pada tahun 813, Leo V menetapkan kembali kebijakan ikonoklasme, namun Maharani Theodora memulihkan pemujaan ikon dengan bantuan Patriark Methodios pada tahun 843.[53] Ikonoklasme memperlebar jurang perpecahan antara Timur dan Barat, yang semakin memburuk pada masa skisma Photios, ketika Paus Nikolas I menentang pengangkatan Photios sebagai patriark.
[sunting] Dinasti Makedonia dan kebangkitan
[sunting] Peperangan melawan Muslim
Kekaisaran Romawi Timur tahun 867.

Pada tahun 867, Romawi Timur telah menstabilkan kembali posisinya di timur dan barat. Berkat efisiensi pada struktur militer, kaisar mampu merencanakan perang penaklukan kembali di timur.

Proses penaklukan kembali dimulai dengan hasil yang tak tetap. Kreta berhasil ditaklukan untuk sementara (843), tetapi selanjutnya tentara Bizantium mengalami kekalahan di Bosporus, sementara kaisar tak mampu mencegah penaklukan Muslim di Sisilia (827–902). Dengan menggunakan Tunisia sebagai batu loncatan, tentara Muslim menaklukan Palermo tahun 831, Messina tahun 842, Enna tahun 859, Siracusa tahun 878, Catania tahun 900, dan benteng Bizantium terakhir, Taormina, tahun 902.
Keberhasilan militer pada abad kesepuluh diikuti dengan kebangkitan budaya, yang disebut Renaisans Makedonia.

Kekurangan tersebut segera diseimbangkan melalui keberhasilan ekspedisi terhadap Damietta di Mesir (856), dikalahkannya Emir Melitene (863), pemastian kekuasaan kekaisaran di Dalmatia (867), dan serangan Basil I terhadap Efrat (870s). Basil I mampu menangani situasi di Italia selatan dengan baik, sehingga provinsi tersebut akan tetap berada di tangan Bizantium selama 200 tahun berikutnya.
Previous Post Next Post