Budaya dan Tradisi tidak mungkin bisa hilang, Kebudayaan adalah tradisi komunitas tertentu yang pada gilirannya dianggap sebagai kekayaan dan almamater komunitas tersebut. Karenanya, kebudayaan itu biasanya sulit--untuk tidak mengatakan tidak mungkin--dihilangkan dari masyarakat. Maka Wali Songo memilih kebudayaan masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya. Mereka sadar kalau merubah seratus persen kebudayaan yang ada berarti siap melawan arus yang sangat kuat.
Para da'i pun biasanya menempuh jalan dakwah dengan memoles dan mewarnai kebudayaan 'jahiliyah' itu dengan ruh Islam. Dan uniknya, metode “dakwah polesan” itu cukup sukses menarik simpati kaum abangan. Puncaknya, Islam di tanah Jawa menemukan kejayaan yang sangat berarti.
Salah satu kepercayaan (baca:mitos) yang sudah berkembang di kalangan masyarakat 'awam' adalah tentang misteri bulan Shafar yang diklaim sebagai bulan yang penuh kesialan. Anggapan itu bukan tanpa alasan. Menurut pemahaman mitos ini, kata Shafar berarti sejenis penyakit di dalam perut dan berbentuk ulat besar yang dapat membunuh. Kepercayaan itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Mereka menganggap bulan Shafar sebagai bulan yang sarat dengan kejelekan.
Bulan Shafar adalah bulan dari bulan sunnah. Nabi s.a.w menamakannya Shafar al-Khair. Bulan Shafar juga merupakan bulan di mana Allah menurukan Kemarahan dan Hukuman ke atas dunia. Banyak kaum yang terdahulu yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul telah lenyap pada bulan ini. Bulan Shafar adalah bulan kedua mengikut perkiraan kalendar Islam yang berdasarkan tahun Qamariah (perkiraan bulan mengelilingi bumi). Shafar artinya kosong. Dinamakan Shafar kerana dalam bulan ini orang-orang Arab sering meninggalkan rumah mereka menjadi kosong kerana melakukan serangan dan menuntut pembalasan ke atas musuh-musuh mereka. Antara peristiwa-peristiwa penting yang berlaku dalam sejarah Islam pada bulan ini ialah Peperangan Al-Abwa pada tahun kedua Hijrah, Peperangan Zi-Amin, tahun ketiga Hijrah dan Peperangan Ar-Raji (Bi’ru Ma’unah) pada tahun keempat Hijrah.
Selain itu, hari Rabu dianggap sebagai hari nahas kedua setelah bulan Safar. Namun Rabu yang dimaksud adalah hari Rabu terakhir (jawa, Rabu Bekasan ) saja dalam setiap bulan. Ironinya, banyak referensi klasik yang menyebutkan hal itu. Lalu, apa hubungan bulan Shafar dengan hari Rabu--walaupun keduanya sama-sama dianggap sial?
Dalam sebuah referensi klasik disebutkan, bahwa Allah menurunkan 3333 penyakit di bulan Safar, dan hal itu bertepatan dengan hari Rabu terakhir. Maka, bila keduanya bertemu otomatis tensi kenahasannya akan semakin besar: dua kali lipat lebih berbahaya. Naifnya, keyakinan ini sudah beranak-pinak.
Dalam pandangan mereka, hari Rabu terakhir di bulan Shafar tak ubahnya sosok hantu menakutkan. Maka tak heran jika kemudian orang Arab melarang semua anggota keluarganya bepergian di hari Rabu. Di hari itu, semua kerabatnya diperintah untuk menetap di rumah, tidak keluar dan hanya berdiam diri; keluar rumah berarti mengantarkan nyawa pada hantu.
“Tidak ada penyakit menular dan kepercayaan pada rekaan itu tidak benar”. Demikian disabdakan Nabi dalam salah satu haditsnya. Hadits itu bermula dari kepercayaan orang awam yang sangat mempercayai takhayul. Hadits itu untuk mengcounter kepercayaan di atas selain juga berusaha memberantas kepercayaan yang berbau mistik. Ironisnya, keyakinan itu tertanam begitu mendalam, bahkan terkadang sampai pada mentiadakan qadla Allah (na'udzubillah).
Kepercayaan terhadap takhayul sebenarnya sudah ada sejak pra-Islam, Jahiliyah. Nabi pernah berdebat dengan orang Badui terkait hal yang berbau mistis atau takhayul. “Tidak ada penyakit menular dan tidak ada kepercayaan pada takhayul”, sabda Nabi Muhammad. Badui berkata, “Lantas, bagaimana dengan unta yang sehat, kemudian sakit setelah didekati unta yang sakit?” Nabi balas menjawab, “Lalu siapa yang menulari unta pertama?”. Percakapan ini mengindikasikan bahwa kepercayaan seperti itu tidak ada dan tidak dibenarkan adanya menurut perspektif Islam. Sebab, semua hal yang terjadi di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Allah SWT.
Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad pernah bersabda “Larilah dari penyakit Judam (Kusta), seperti halnya kamu lari dari kejaran macan”. Hadits ini memberi indikasi bahwa takhayul dan kepercayaan orang-orang Jahiliyah sangat beralasan. Bagaimanapun juga, segala sesuatu yang membahayakan harus kita jauhi. Andaikan kepercayaan itu tanpa alasan maka Nabi tidak akan pernah mengatakan hal itu (lari dari penyakit Kusta). Lantas, bagaimana dengan hadits kedua yang justru mentiadakan kepercayaan takhayul?
Syari’at menganjurkan kita untuk berikhtiar dan berusaha menjauhi semua hal yang berbahaya bagi jiwa. Di sinilah pentingnya mengkompromikan kedua hadits tersebut guna menghindari mispersepsi sebagian orang awam.
Para ulama menjelaskan bahwa hadits pertama itu menafikan fanatisme buta orang-orang Jahiliyah yang menvonis kelemahan takdir Allah dibanding kepercayaan dari nenek moyang yang tertanam dalam jiwa mereka. Akhirnya hari nahas diklaim setara dengan takdir; bisa menentukan hidup dan mati seseorang. Sedangkan hadits yang kedua, menganjurkan kita agar menjauhi sebab lahiriah dari terjangkit penyakit. Salah satu caranya adalah dengan menjauhi sebab-sebab pernyakit. Sedangkan sebab-sebab yang bersifat bathiniyah manusia tidak mempunyai hak untuk mengatur. Klaim hari nahas adalah salah satu dari Bathiniyah, yang siapapun tidak memiliki otoritas untuk menentukannya selain Allah.
Pada hakikatnya tidak ada yang bisa menolak datangnya penyakit yang digariskan Allah. Segalanya ada dalam sifat absolutisme Allah sejak zaman Azaly. Oleh karena itu, kita hanya diperintahkan untuk melakukan langkah antisipatif (ikhtiar), atau setidaknya menunda datangnya penyakit yang dimaksud dengan menjauhi penyebabnya. Salah satunya dengan berdo’a, memperbanyak sadaqah dan beramal baik. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, “Yang dapat menolak penyakit hanya do’a. Apabila penyakit itu tertolak, maka itupun bagian dari takdir Ilahi” (HR. Turmudzi).
Kehidupan ini berjalan atas takdir dan kekuasaan Allah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari takdir. Toh, semuanya itu ada tujuan dan manfaatnya. Namun demikian, takdir bukanlah harga mati, sebagaimana diasumsikan sebagian orang selama ini. Takdir masih bisa “ditawar”. Tergantung bagaimana kita “merayu” Allah dengan do’a yang dapat mengetuk pintu rahmat-Nya.
Para da'i pun biasanya menempuh jalan dakwah dengan memoles dan mewarnai kebudayaan 'jahiliyah' itu dengan ruh Islam. Dan uniknya, metode “dakwah polesan” itu cukup sukses menarik simpati kaum abangan. Puncaknya, Islam di tanah Jawa menemukan kejayaan yang sangat berarti.
Salah satu kepercayaan (baca:mitos) yang sudah berkembang di kalangan masyarakat 'awam' adalah tentang misteri bulan Shafar yang diklaim sebagai bulan yang penuh kesialan. Anggapan itu bukan tanpa alasan. Menurut pemahaman mitos ini, kata Shafar berarti sejenis penyakit di dalam perut dan berbentuk ulat besar yang dapat membunuh. Kepercayaan itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Mereka menganggap bulan Shafar sebagai bulan yang sarat dengan kejelekan.
Bulan Shafar adalah bulan dari bulan sunnah. Nabi s.a.w menamakannya Shafar al-Khair. Bulan Shafar juga merupakan bulan di mana Allah menurukan Kemarahan dan Hukuman ke atas dunia. Banyak kaum yang terdahulu yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul telah lenyap pada bulan ini. Bulan Shafar adalah bulan kedua mengikut perkiraan kalendar Islam yang berdasarkan tahun Qamariah (perkiraan bulan mengelilingi bumi). Shafar artinya kosong. Dinamakan Shafar kerana dalam bulan ini orang-orang Arab sering meninggalkan rumah mereka menjadi kosong kerana melakukan serangan dan menuntut pembalasan ke atas musuh-musuh mereka. Antara peristiwa-peristiwa penting yang berlaku dalam sejarah Islam pada bulan ini ialah Peperangan Al-Abwa pada tahun kedua Hijrah, Peperangan Zi-Amin, tahun ketiga Hijrah dan Peperangan Ar-Raji (Bi’ru Ma’unah) pada tahun keempat Hijrah.
Selain itu, hari Rabu dianggap sebagai hari nahas kedua setelah bulan Safar. Namun Rabu yang dimaksud adalah hari Rabu terakhir (jawa, Rabu Bekasan ) saja dalam setiap bulan. Ironinya, banyak referensi klasik yang menyebutkan hal itu. Lalu, apa hubungan bulan Shafar dengan hari Rabu--walaupun keduanya sama-sama dianggap sial?
Dalam sebuah referensi klasik disebutkan, bahwa Allah menurunkan 3333 penyakit di bulan Safar, dan hal itu bertepatan dengan hari Rabu terakhir. Maka, bila keduanya bertemu otomatis tensi kenahasannya akan semakin besar: dua kali lipat lebih berbahaya. Naifnya, keyakinan ini sudah beranak-pinak.
Dalam pandangan mereka, hari Rabu terakhir di bulan Shafar tak ubahnya sosok hantu menakutkan. Maka tak heran jika kemudian orang Arab melarang semua anggota keluarganya bepergian di hari Rabu. Di hari itu, semua kerabatnya diperintah untuk menetap di rumah, tidak keluar dan hanya berdiam diri; keluar rumah berarti mengantarkan nyawa pada hantu.
“Tidak ada penyakit menular dan kepercayaan pada rekaan itu tidak benar”. Demikian disabdakan Nabi dalam salah satu haditsnya. Hadits itu bermula dari kepercayaan orang awam yang sangat mempercayai takhayul. Hadits itu untuk mengcounter kepercayaan di atas selain juga berusaha memberantas kepercayaan yang berbau mistik. Ironisnya, keyakinan itu tertanam begitu mendalam, bahkan terkadang sampai pada mentiadakan qadla Allah (na'udzubillah).
Kepercayaan terhadap takhayul sebenarnya sudah ada sejak pra-Islam, Jahiliyah. Nabi pernah berdebat dengan orang Badui terkait hal yang berbau mistis atau takhayul. “Tidak ada penyakit menular dan tidak ada kepercayaan pada takhayul”, sabda Nabi Muhammad. Badui berkata, “Lantas, bagaimana dengan unta yang sehat, kemudian sakit setelah didekati unta yang sakit?” Nabi balas menjawab, “Lalu siapa yang menulari unta pertama?”. Percakapan ini mengindikasikan bahwa kepercayaan seperti itu tidak ada dan tidak dibenarkan adanya menurut perspektif Islam. Sebab, semua hal yang terjadi di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Allah SWT.
Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad pernah bersabda “Larilah dari penyakit Judam (Kusta), seperti halnya kamu lari dari kejaran macan”. Hadits ini memberi indikasi bahwa takhayul dan kepercayaan orang-orang Jahiliyah sangat beralasan. Bagaimanapun juga, segala sesuatu yang membahayakan harus kita jauhi. Andaikan kepercayaan itu tanpa alasan maka Nabi tidak akan pernah mengatakan hal itu (lari dari penyakit Kusta). Lantas, bagaimana dengan hadits kedua yang justru mentiadakan kepercayaan takhayul?
Syari’at menganjurkan kita untuk berikhtiar dan berusaha menjauhi semua hal yang berbahaya bagi jiwa. Di sinilah pentingnya mengkompromikan kedua hadits tersebut guna menghindari mispersepsi sebagian orang awam.
Para ulama menjelaskan bahwa hadits pertama itu menafikan fanatisme buta orang-orang Jahiliyah yang menvonis kelemahan takdir Allah dibanding kepercayaan dari nenek moyang yang tertanam dalam jiwa mereka. Akhirnya hari nahas diklaim setara dengan takdir; bisa menentukan hidup dan mati seseorang. Sedangkan hadits yang kedua, menganjurkan kita agar menjauhi sebab lahiriah dari terjangkit penyakit. Salah satu caranya adalah dengan menjauhi sebab-sebab pernyakit. Sedangkan sebab-sebab yang bersifat bathiniyah manusia tidak mempunyai hak untuk mengatur. Klaim hari nahas adalah salah satu dari Bathiniyah, yang siapapun tidak memiliki otoritas untuk menentukannya selain Allah.
Pada hakikatnya tidak ada yang bisa menolak datangnya penyakit yang digariskan Allah. Segalanya ada dalam sifat absolutisme Allah sejak zaman Azaly. Oleh karena itu, kita hanya diperintahkan untuk melakukan langkah antisipatif (ikhtiar), atau setidaknya menunda datangnya penyakit yang dimaksud dengan menjauhi penyebabnya. Salah satunya dengan berdo’a, memperbanyak sadaqah dan beramal baik. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan, “Yang dapat menolak penyakit hanya do’a. Apabila penyakit itu tertolak, maka itupun bagian dari takdir Ilahi” (HR. Turmudzi).
Kehidupan ini berjalan atas takdir dan kekuasaan Allah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari takdir. Toh, semuanya itu ada tujuan dan manfaatnya. Namun demikian, takdir bukanlah harga mati, sebagaimana diasumsikan sebagian orang selama ini. Takdir masih bisa “ditawar”. Tergantung bagaimana kita “merayu” Allah dengan do’a yang dapat mengetuk pintu rahmat-Nya.
Tags:
BULAN SHAFAR