No title



Resensi Singkat  

Bagaimana jika sejarah agama yang berusia lebih dari satu milenium, ketika dianalisa lewat verifikasi sejarah, ternyata ditemukan keliru ? Bagaimana jika kehidupan tokoh sentral suatu agama, ternyata secara historis sangat meragukan pernah ada dan berkarya seperti yang dikisahkan dalam tradisi-tradisi yang menopang keimanan akan keberadaannya?

Segera setelah para teolog dan sejarawan Eropa abad sembilan belas mempertanyakan historitas Yesus, para ahli pun mempertanyakan hal yang sama pada Muhammad. Setelah lebih dari seratus tahun pencarian Muhammad Historis dan Asal Mula Islam , maka nampaklah hasil yang lebih jelas mengenai keberadaan atau bahkan ketidakberadaan Muhammad Historis.

 Dengan ditemukannya materi-materi pendukung di bidang kajian ini, di antaranya penemuan dan pengumpulan koin-koin awal di Arabian Era (Tahun Hijriah) oleh para numismatik seperti halnya Volker Popp, dan juga kajian filologi dan histori-linguistik seperti halnya  Gunter Luling, dan Cristoph Luxenberg,  serta penyingkapan arkeologi oleh Judith Kohen & Yehuda Nevo, maka apa yang terjadi yang sejaman dengan masa-masa pembentukan islam tampaknya semakin  jelas.

Buku THE HIDDEN ORIGIN OF ISLAM  atau ASAL USUL ISLAM YANG TERSELUBUNG  berisi 10 artikel dari berbagai periset Akademisi Barat tentang sejarah awal Islam, diedit oleh Gerd R. Puin  (yang pernah mengepalai misi restorasi manuskrip-manuskrip quran di Yaman) dan Karh Heinz Ohlig, Profesor emeritus Religious Studies di Saarland University. Sepuluh artikel ini mengupas apa yang paling mungkin terjadi di jantung masa-masa formatif Islam di abad perempatan pertama abad ke tujuh, dimana mereka menemukan banyak hal yang selama ini tidak dimunculkan dalam tradisi Islam.

Berbeda dengan kisah-kisah tradisi Islam, bahwa Islam lahir di jantung kota Mekkah bersama dengan kehadiran seorang nabi Arab Muhamad bin Abdullah. Para ahli, khususnya Volker Popp memberi fakta-fakta berdasarkan koin-koin kuno dan sejarah kemunculannya, bahwa Muhammad bukanlah sebuah nama diri (proper name) melainkan gelar dan sebutan bagi Yesus oleh kaum Arab kristen dari Mesopotamia selatan yang oleh Cristoph Luxenberg disebut kaum Arabo-Sasanian Christian. Koin-koin bertuliskan Muhammad /MHMT dan bergambar seorang laki-laki membawa Salib, atau juga koin dengan inisial M dan bergambar salib yang menyebar dari Barat Ke Timru (Mesopotamia ke Damaskus & Yerusalem) pada masa pemerintahan Abdul Malik membuktikan bahwa kata Muhammad adalah gelar atau sebutan bagi Yesus, sebagai tandingan bagi kristen Byzantium yang mempercayai Yesus sebagai anak allah.  Sementara kaum kristen di wilayah Barat seperti koptik, Byzantium dan  Ortodoks Syria memposisikan Yesus sebagai theos ouios / anak allah,  kaum kristen Arab sassanian ini memposisikan Yesus sebagai abd’ allah dan rasulullah.

Hal ini ditegaskan dalam temuan Cristoph Luxenberg yang memberi tafsiran baru dalam membaca Prasasti di Kubah Batu dimana tertulis
” Muhammad(un) ‘abd(u) llah(i) wa-rasuluh(u) “  yang seringkali dibaca sebagai Muhammad Abdullah rasul allah. Seharusnya ini dibaca : Terpujilah (muhmmadun) abdi / hamba allah dan rasulnya, dan dalam konteks ini yang dirujuk sebagai hamba dan rasul allah adalah Isa anak Mariam.  Pembacaan selama ini telah mengabaikan bahwa kata muhamad(un) bukanlah nama pribadi, melainkan gerundival partisipal yang berarti “Terpujilah”.

Telaah lebih lanjut dari Cristoph Luxenberg memperlihatkan bahwa pembangunan Kubah Batu jelas adalah prakarsa dari para pemimpin Kristen Arab yang menantang Kristen Byzantium dalam soal kristologi, dan bangunan itu sendiri adalah bangunan tandingan dari Gereja Holy Sepulchre milik Kristen Byzantine yang berdiri di kota yang sama sebagai bentuk dari sokongan kekaisaran Byzantine. Dome of the Rock adalah ekspresi dari kaum Arab Kristen yang percaya bahwa di puncak batu Bukit Sion itulah Ibrahim dulu mengorbankan Ishak, kemudian Melkisedek mendoakan Ibrahim, dan di puncak bukit itu pulalah Yesus di salib , dikuburkan dan naik ke surga yang berbeda dengan tuturan kisah penyaliban ala Kristen Barat. Sebab sampai sekarang, di dalam Kubah Batu itu terdapat batu yang dipotong dan dilubuangi, sebagai simbol dari kuburan orang suci, dalam hal ini Yesus.

Sehingga dari sini kita melihat bahwa kata Muhammad awalnya adalah gelar bagi Yesus sebagai mahdi, al masih, hamba allah, rasul allah, yang terpuji (Ali)  yang kemudian bergeser menjadi nama dari seorang nabi Arab yang kehadirannya dipanggungkan di jaman Abbasid di tahun 750 M ketika dinasti Umayyad ditumbangkan oleh dinasti Abbassid yang berpusat di Irak. Pada saat itulah bermekaran kesusastraan islam beraksara Arab yang nantinya melahirkan Sirat, Sunnah dan Hadist.     

Kajian ini sejalan dengan almarhum John Wansbrough yang berpendapat bahwa Islam bukanlah agama yang lahir di Hijaz Arab, melainkan dalam kurun waktu yang cukup panjang (sekitar 200 tahun)  sebagai upaya pencarian identitas kaum penguasa Arab dalam berkontekstual dengan budaya dan agama di daerah-daerah yang ditundukkan dan sebagai usaha “community building”.  Al Quran, menurut Wansbrough, adalah korpus terbuka yang ber-evolusi selama dua ratus tahun tersebut. Dan thesis ini disokon dengan temuan-temuan penulis lain dalam buku The Hidden Origins Of Islam, bahwa sebagian dari Quran adalah leksikon atau bacaan ritual kaum Kristen Arab berbahasa Syro-Aramik yang telah hadir ratusan tahun sebelum datangnya nabi Arab yang nantinya dikenal sebagai “Muhammad”.

Sebagai highlight, maka bab 2 bagian Ringkasan (hal 139 – 145) telah diterjemahkan untuk anda.  Di bagian akhir dari artikel ini saya akan tampilan URL dimana anda bisa mendownload buku ini dalam versi Inggris.


Terjemahan dari :
SUMMARY CHAPTER II :
A NEW INTERPRETATION OF THE ARABIC INSCRIPTION IN JERUSALEM’S DOME OF THE ROCK



RELEVANSI BAGI SEJARAH LINGUISTIK

Analisa-analisa filologis yang telah dilakukan atas prasasti berbahasa Arab awal yang terkenal di Kubah Batu telah sekali lagi menjelaskan peran menentukan dimana filologi, sebagaimana diaplikasikan pada histori-linguistik, memainkan analisa material yang relevan bagi sejarah dan agama-agama. Semua usaha sebelumnya untuk menguraikan lapisan awal bahasa Arab tertulis ini, yang darinya bahasa Qurãn berasal dan berfungsi sebagai landasan dari “bahasa Arab klasik”, tentu saja telah membimbing kepada kesalah-tafsiran fakta-fakta histories.  Hal ini telah terjadi karena para akademisi Barat yang mengkhususkan diri pada kajan-kajian Islam dan bahasa Arab, yang  terlambat datang ke “Tempat Kejadian Perkara”, telah secara serampangan menaruh keyakinan pada pemaparan filologi Arab tradisional yang telah dibangun tanpa disertai metoda-metoda kritik historis yang benar. Para akademisi ini telah begitu dalam dipengaruhi oleh aturan-aturan tatabahasa Arab yang ketat, yang pada kenyataannya lahir di akhir abad ke-8 M, yang memaksakan kualitas leksikografi dan literatur yang muncul sesudahnya.

Akibatnya, para akademisi Barat ini mengacu pada pakem kesusasteraan Arab ini, yang sebenarnya baru muncul setelah pembentukan bahasa Qurãn itu sendiri, sebagai sambungan dari “bahasa Arab klasik” yang akarnya secara alami dapat ditelusuri sampai perioda Pra-Aramik. Mereka bahkan berargumen bahwa para filolog Arab telah berhasil dalam menciptakan sebuah bahasa artifisial normatif yang berfungsi sebagai jembatan antara berbagai dialek-dialek dalam bahasa Arab itu sendiri dan bertahan terhadap bergulirnya waktu. Namun siapapun yang secara mendalam mempelajari para ahli tafsir Arab atas Qurãn atau para leksikografis (penyusun kamus) Arab, pastilah akan terkejut dengan ketidakhandalan filologis dari individu-individu yang konon dianggap sebagai “ yang berwenang dan ahli” ketika ada pertanyaan yang menyangkut penjelasan salah satu dari berbagai kata bahasa “Arab” yang dipinjam dari bahasa Aramik. Di sinilah kesalahan para akademisi Barat terlihat, yakni telah salah dengan begitu percaya pada “kehandalan” para filolog Arab tradisional. Kemampuan dan kompetensi para akademisi Barat ini untuk bekerja dalam komparasi bahasa-bahasa Semitik, yang telah jauh melampaui para filologis Arab tradisional, seharusnya telah memampukan mereka menawarkan jawaban atas permasalahan ini.  Sebagai hasilnya, karya-karya filologikal mendasar seperti misalnya sejarah tatabahasa Arab Klasik pasca-Qurãn , juga sejarah linguistik dan etimologi kamus Arab, tetap menjadi hal besar yang sangat diinginkan. Realisasi dari karya-karya ini sama mendesaknya dengan pembuatan Qurãn  edisi kritis; namun kebutuhan instrumen filologikal, juga generasi baru dari kompetensi ini, para akademisi yang terlatih baik, merupakan pra-syarat dari evaluasi Qurãn dan karya-karya edisi kritis ini.  Jika penyingkapan ini bisa bekerja dengan baik dalam membimbing lembaga-lembaga riset, mungkin hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan proyek riset yang terkoordinasi  dengan baik atas analisa historis-kritis Qurãn  di masa-masa dekat ini.


RELEVANSI BAGI SEJARAH AGAMA-AGAMA

Teks-teks yang dikaji dalam essai ini berhubungan dengan pengajaran teologis dari ‘Abd al-Malik , yang pada saat yang sama merupakan kalifah Arab dan pemimpin keagamaan bagi orang beriman (atau bagi mereka yang mempercayakan kepemimpinannya, menaruh amanat padanya; yang dalam bahasa Arabnya - Amir al-mu’minin). Doktrin ini berisikan materi Kristologis secara khusus disepanjang dan ditujukan langsung pada kaum Kristen yang telah mempertahankan konsepsi alternatif tentang Yesus sejak Muktamar Nicea (325 M). Kesimpulan ini begitu jelas muncul dari konteks tersebut. Sebagai akibatnya, kita akan mendaftarkan sejumlah kesimpulan tersebut di sini.

KRISTIANITAS ARAB-SYRIA PRA-KONSILI NICAEA [28]

 Prasasti tersebut ditujukan kepada “kaum berkitab” (ahl ak-kitãb).  Jadi, dalam Quran deskripsi ini bisa merujuk pada baik Yahudi dan Kristen, namun berdasarkan konteks, jelas bahwa kepada kaum Kristenlah prasasti ini ditujukan. Lewat pengajaran ini ‘Abd al-Malik mempertahankan imannya baik tentang Kristus sebagai “hamba allah” (‘abd allã h) dan juga imannya dalam satu Sesembahan (god), terhadap doktrin Trinitas yang dianut oleh kaum kristen yang mengiktui Muktamar Nicaea.  ‘Abd al-Malik, dalam hal ini, justru mempertahankan suatu iman kekristenan Siria pra-Muktamar Nicaea, yakni suatu versi kekristenan yang tidak seharusnya digeneralisir sebagai “kekristenan Yahudi”, namun condong, secara lebih akurat, sebagai “Kekristenan Arab-Syria.” Lebih jauh lagi simbiosis teologis-relijius ini didampingkan sebagai simbiosa lingusitik, sebagaimana kita lihat dalam prasasti dan dalam bahasa Qurãn, yang versi aslinya disatukan seluruhnya dalam aksara Syriak (suatu cara penulisan bahasa Arab yang disebut “Garshuni” atau “Karshuni”). [28] Akibatnya, tanpa bahasa Aramik-Syriak kita tidak dapat memahami “bahasa campuran” ini sama sekali dari cara yang seharusnya ia dipahami.


“MUHAMMAD I”  DAN “MUHAMMAD II”

Analisa tekstual kita telah memperlihatkan bahwa partisipel gerundifal (gerundival participle- kata benda yang diambil dari kata kerja bentuk lampau, seperti contohnya “the oppressed - yang tertindas”  atau “the blessed-  yang terberkati” – yang tidak merujuk pada suatu nama diri perorangan namun suatu kata benda sapaan atau rujukan umum - penerjemah) aslinya bukanlah sebuat nama diri (proper name), namun berupa pujian atau penghargaan (“praised be – terpujilah”) yang terhubungkan dengan hamba allah, yakni Yesus, putra Maria.  Hanya karena orang-orang yang terkemudian yang memahami kata pujian ini sebagai nama perorangan dan mengacukannya pada nabi Islam yang tertulis di “Sirat Nabi” di jauh kemudian hari, sehingga di masa mendatang kita harus membedakan antara “Muhammad I” dan “Muhammad II”. Perbedaan ini memunculkan masalah-masalah historis baru. Prasasti pada Kubah Batu tidak bisa digunakan untuk membela posisi “Muhammad II” yang hidup dari 570 – 632 M, karena nama “Muhammad” di prasasti itu seluruhnya merujuk pada Yesus, putra Maria – yang kita sebut sebagai “Muhammad I”. Adalah tugas para sejarawan untuk menyingkapkan apakah “Muhammad II” yang tentangnya “Sirat Nabi” banyak ceritakan, benar-benar hidup sebelum kemunculan biografi tersebut (yakni pertengahan abad ke-8 M), atau ia seharusnya dilihat sebagai figur simbolis saja. Nama dari ayah sang nabi sendiri, yakni ‘abd allã h’ (abdullah), yang kenyataannya serupa dengan simbol yang merefleksikan ekspresi ‘hamba allah” yang tertulis di Kubah Batu, membantu kita untuk menyarankan ini pada kemungkinan kedua, yakni sebagai figur simbolik.


“ISLAM I”  DAN “ISLAM II”
Analisa tekstual juga telah membuat jelas bahwa, dengan ekspresi “islãm” tidak ada suatu nama diri (proper name) disebutkan di sini, melainkan suatu penegasan kepada “Kitab”. Sebab “Kitab” ini ,mengikuti isi Kristologis dari prasasti tersebut, mengacu pada Injil, ia tidak mengacu pada   Qurãn. Akibatnya, menjadi kesalahan sejarah jika melihat ekspresi  ini (“islãm”) dan dalam konteks ini sebagai awal mula “agama Islam” sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Maka dari itu, spekulasi telah ditegaskan kembali bahwa Islam historis bermula di awal pertengahan abad ke delapan (tahun 750-an seiring dengan lahirnya dinasti Abbasid- penerjemah). Namun sebagian dari Qur’ãn mungkin telah ada secara terpisah sebelum bangkitnya agama Islam historis- sebuah kemungkinan yang prasasti Kubah Batu sarankan – yakni sebagai buku liturgis dari kekristenan Arab-Syria. Bahkan jika sumber-sumber kristen dari pertengahan pertama abad delapan berbicara tentang “Muhammad” sebagai “nabi bagi kaum Arab”, fenomena ini harus dipahami bahwa nama Arab yang mengacu bagi Kristus ini tidaklah umum di telinga kaum Kristen yang berbahasa Yunani dan Aramaik. Untuk itu, kiasan ini, yang kedengarannya asing bage mereka, pastilah tampak seperti nama seorang nabi baru. Sebab bahkan pada jaman itu belum terdengar suatu agama baru bernama “Islam”. Sebagai akibatnya sebagai tandingan bagi praktek historiografi Islami sampai saat ini, di masa mendatang kita harus juga membedakan antara “Islam I” dengan “Islam II”


MENYOAL SIMBOLISME KEKRISTENAN DI KUBAH BATU
Berdasarkan legenda-legenda Kristen, yang tersambung pada legenda-legenda Yahudi mengenai makna dari  Temple Mount (Gunung Moria, atau Bukit Sion,  atau  Haram Ash-Sharif-   bhs. Arab), Yesus Kristus pastilah disalibkan di tempat itu. Heinrich Speyer, senada dengan tafsirannya atas Surah 23:20, telah menawarkan rujukan informatif:

Untuk itu, berdasarkan Kitab Cave of Treassures (Schatzhõhle, ed. Bezold,[29] hal.14) Adam diciptakan di Yerusalem di tempat di mana juruselamat disalib; di sanalah ia memberi nama-nama bagi para binatang. Di sana pulalah Melkisedek bertugas sebagai imam (ibid., hal. 254), Abraham yang hampir saja mempersembahkan Ishaq sebagai kurban persembahan, dan Kristus disalibkan; tempat ini adalah titik pusat dunia. Ephrem orang Syria, dalam tafsirannya atas Kitab Nabi Yehezkiel (Opp. II, 171A), juga menyebut Yerusalem “pusat dari bumi.”[31]

Jerome dan Theodoet, mengambil Yehezkiel 5:5 sebagai teks acauan mereka, menjelaskan hal yang sama, bahwa Yerusalem adalah titik pusat dari dunia. [32] Kitab Henokh (ed. Dillmann, Bab 26) berisikan penggambaran “kawasan pusat dunia”, sebagai gunung yang suci. Penulis kitab itu menegaskan Yerusalem, secara spesifik Temple Mount dalam benaknya. Di tempat itu pulalah Adam juga dikuburkan.[33]

Indikasi yang paling jelas untuk hal ini dalam Kitab Cave of Treassures itu sendiri:
Dan Ishaq berumur dua puluh dua tahun, ketika ayahnya membawanya dan mendaki Gunung Yabõs untuk menemui Melkisedek, hamba dari allah yang maha tinggi. Gunung Yabõs sebenarnya adalah salah satu pegunungan Amoraea, di tempat inilah salib dari sang mesias didirikan. Di sana tumbuhlah sebuah pohon yang menopang anak domba yang menggantikan Ishaq. Tempat inilah titik pusat dunia, makam Adam, altar persembahan Melkisedek, Golghota, “bukit Tengkorak” dan Gabbatha. Di sanalah Daud melihat malaikat memegang pedang yang menakutkan. Di sanalah Abraham mempersembahkan anaknya, Ishaq, sebagai korban bakaran; di sanalah ia melihat Mesias dan salibnya, dan keselamatan dari junjunan kita Adam.[34]

            Melimpahnya detil-detil legenda menyoal Temple Mount sebagai lokasi dari penyaliban menurut tradisi Kekristenan Syria tentu saja membuat  ‘Abd al-Malik saran untuk menghubungkan tempat simbolik dengan bangunan suci yang asalnya adalah milik Kekristenan Syria. Namun fakta-fakta berikut ini juga memberi kesaksian bahwa, menurut kisah-kisah tradisi, tempat ini tidak hanya tempat di mana Yesus disalib, tetapi juga terhubung dengan kisah-kisah penguburan, kebangkitan dan kenaikan:

  1. Istilah “Kubah Batu” atau “Dome of the Rock” (atau “Cupola of the Rock”), yang masih dipakai sampai saat ini, berasal dari bahasa Arab yang bertahan sampai jaman kita sekarang: qubbat as-sahra. Istilah ini mengandung dua elemen informasi. Pertama, kata Arab qubba berasal dari bahasa Syro-Aramik qubbta, dimana kata ini memiliki varian qebbuta (“Cupola” yang berarti kubah atau kapel yang mana kata ini diambil dari “chapel”). Thesaurus II:3452 memberi arti dari kata ini sebagai “de arca in qua corpus sancti repositum est” (kubah dimana di bawahnya / di dalamnya terletak jasad seorang suci diletakkan). Kata Arab qubba  selaras dengan istilah ini dalam tradisi Islam untuk mausoleum atau makam yang dipersembahkan pada seorang wali(orang suci, sahabat alloh). Kedua, kata as-sahra (batu) mengacu pada batu yang ada di Kubah Batu di bawah kubah (cupola) tersebut yang dikelilingi oleh susuran tangga yang rendah.  Batu ini, dimana terletak sebuah ruang bawah tanah, menyimbolkan kuburan Kristus, yang dilaporkan setidaknya oleh Injil (berdasarkan Peshitta Syriak – Injil berbahasa Aramik-Syria)  yang dipotong dari bongkahan batu besar. (Matius 27:60; Markus 15:46;Lukas 23:53, dan Yoh 20:1 teks-teks ini berbicara tentang batu yang digulingkan dari kuburan).
  2. The Church of Ressurection atau Gereja Kebangkitan, juga dikenal sebagai Church of the Holy Sepulchre, yang berdiri di tengah-tengah Kota Tua Yerusalem, oleh kaum Arab Kristen disebut juga sebagai kanšisat al-qiyãma (Gereja Kebangkitan) dan juga, khususnya di kawasan Mesopotamia, qabr al-halãs (Kubur Keselamatan). Kedua konsepsi Kekristenan ini, yang mana terhubung dengan kuburan Kristus, secara kategoris ditolak oleh teologi pasca-quranik (yakni dalam aras pemikiran “Islam II”), hal ini terjadi karena penafsiran Islam, sadar atau tidak sadar, telah salah memahami rujukan-rujukan sporadis tentang penyaliban, kematian, dan kebangkitan Kristus dalam pemikiran Kristen doketis . Akibatnya, tradisi Islam (yakni “Islam II) tidak mampu menghubungkan Kubah Batu dengan inti pertanyaan-pertanyaan doktrin Kristen. “Islam I” menolak pengertian Helenistik tentang apa artinya Kristus sebagai “putra allah”, dan juga menjawab tentang doktrin trinitas  masih terhubungkan dengan idea-idea ini, karena simbolisme kekristenan selalu dihubungkan dengan bangunan suci ini yang secara inherent coba komunikasikan.
  3. Akhirnya, para penafsir Islamik terkemudian mempercayai bahwa mereka telah melihat suatu rujukan di bacaan-bacaan yang telah disalahpahami di Surah 4:157-158 ke kenaikan Yesus ke surga (tanpa memahami bacaan-bacaan Qur’ãn yang berlawanan dengan pemahaman ini); hasilnya mereka menghubung-hubungkan kenaikan ini, setidaknya dalam legenda islam, dengan kenangan yang memiliki asal-usul cerita Kristen.   Cerita ini bertutur sebagai berikut: Jika kita mengunjungi Tanah Suci, dan ingin melihat tempat di puncak Bukit Zaitun (Yerusalem Timur) yang di atasnya Yesus naik ke surga, kita akan dibimbing ke area berdinding, dimana di tengah-tengahnya sebuah batu berukuran sedang terangkat sedikit di atas tanah. Di sana kita diarahkan ke dua lekuk batu yang dipotong, yang mana dipercaya sebagai jejak kaki yang Kristus tinggalkan sebelum kenaikannya ke surga.  Secara kebetulan legenda yang sama diceritakan pada pengungung Kubah Batu. Namun di sana, jejak kaki itu bukan mengacu pada jejak Kristus, melainkan jejak, kuda putih  buraq, dimana dipunggungnya , sang nabi (Muhammad II) dikatakan telah melakukan perjalanannya naik ke surga.

          Legenda ini sangat penting bagi sejarah agama-agama, dimana ia menyingkapkan kenangan akan Kristus yang berakar pada jaman kekristenan namun masih hadir dalam cerita-cerita rakyat Islamik. Lebih jauh lagi, transformasi dari “Islam I” ke “Islam II”, dan dari “Muhammad I” ke “Muhammad II” menjadi jelas bahwa Tradisi Islam, selaras dengan teologi “Islam II” yang datang kemudian, menafsirkan ulang simbolisme asli kekristena (Islam I) tentang Kubah Batu. Tafsiran ulang ini berlangsung dalam dua tahap. Di tahap pertama Kubah Batu, yang dulunya terkenal sebagai tempat dimana Kristus dikuburkan dan kebangkitannya, juga disebut tempat dimana ia naik ke surga (sebagai “Muhammad I”). Hanya kemudian langkah kedua terjadi, dimana kenaikan, yang atasnya Injil dan Quran saksikan dan keduanya hubungkan kepada Kristus, diubah secara legenda ke dalam “Muhammad II”.

      Kemudian kesimpulan saya : berdasarkan analisa filologi sebelumnya atas prasati Kubah Batu, “Islam I” adalah Kristen Oriental Pra-Muktamar Nicaea, yakni sebentuk kekristenan Arab-Syria. Bentuk Kekristenan ini paling mungkin bertahan sampai di wilayah Mesopotamia sampai akhir dinasti Ummayad (sekitar 750 M), dan mungkin lebih lama lagi. Hal ini menjelaskan kenapa Yerusalem menjadi tujuan ziarah sebelum kota Mekkah menikmati pemujaan yang sama. Hal ini juga menjelaskan adanya halaman yang luas yang ada di sekitar  Kubah Batu yang tadinya berfungsi sebagai tempat untuk menampung para peziarah. Dengan doktrin Kristologis yang dihadirkan dalam prasasti di Kubah Batu, “Islam I” bermaksud menyaksikan ajaran ortodoxy mereka tentang teologi Kristen mereka yang melawan doktrin hasil Muktamar Niceae yang dibela oleh gereja Konstantinian di sekitar mereka yaitu gereja Holy Sepulchre. Dengan cara pandang inilah kita dapat membicarakan kesetiaan akan “Kitab” kaum “Islam I” ini.

          “Islam II” merujuk pada perubahan dari “Islam I” yakni kekristenan Arab-Syria, dan akibatnya juga dari “Kitabnya”. Perubahan lain yang dihasilkan termasuk perubahan dari Yerusalem ke Mekkah dan penggantian “Kitab” (yakni dari Bibel dengan Quran Arab). Perubahan-perubahan ini hanya bisa dijelaskan dalam hubungannya dengan gejolak politik. Ketika klan Abbasid berkuasa, mereka tidak menginginkan apapun kecuali mengenyahkan Dinasti Ummayad atau agama mereka. Dari perspektif dan tolak ukur waktu inilah (yakni 750 M) “Islam II” secara lambat nampak sebagai ajang pembangunan masyarakat ( “community building”) dan kemudian diupayakan dalam gerakan politik. Hanya karena Dinasti Abbasid menjadikan “Islam II” sebagai ideologi nasional mereka, maka kita bisa menjelaskan secara historis mengapa suku-suku Arab Kristen tiba-tiba dipaksa menganut “Islam II”. Dalam rekonstruksi ini, makna dari prasasti Kubah Batu telah menjadi jelas dalam relasinya dengan linguistik historis dan sejarah agama-agama; yang secara ironis, karena salah memahami ekspresi “Muhammad” (I) dan “Islam” (I) pengertian dari prasasti ini kelihatannya telah menyediakan parameter bagi “Muhammad II” dan “Islam II”.

          Kurangnya literatur yang dapat dipercaya  dari perioda ini untuk menjelaskan fenomena sejarah yang selalu dipertanyakan membuat usaha-usaha para sejarawan kesukaran untuk menyingkapkan “kebenaran”. Namun, prasasti pada Kubah Batu yang mencerahkan itu telah lebih berharga; bahasanya, yang telah disalahpahami sampai saat ini, telah melindunginya dari manipulasi. Para sejarawan harus bersyukur atas situasi ini, karena hal ini telah menyingkapkan pada kita, dalam makna kata yang paling tepat, sebentuk kebenaran historis dengan cara tafsir linguistik-historis ini.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post